Scroll untuk baca artikel
Kolom

Sinyal Politik Kartel di Pilgub Jakarta 2024

Suroto
×

Sinyal Politik Kartel di Pilgub Jakarta 2024

Sebarkan artikel ini
Achmad Fachrudin

Katz dan Mair (1995) mengamati, partai kartel yang muncul paska tahun 1970,  dianggap sebagai   model baru karena bukan hanya menggunakan capital intensive dalam strategi kampanye tetapi juga menjadikan Parpol sebagai profesi individu. Lebih dari itu, menggunakan negara sebagai sumber daya pendanaan partai. Konsekwensinya Parpol menjadi lebih dekat dan tergantung dengan negara atau penguasa daripada dengan masyarakat. Di masa reformasi, makin lumrah terjadi  Parpol menghianati aspirasi pendukungnya dan memilih mendekat kepada penguasa.

Slater (2004) mengamati,  pasca-Pemilu 1999 politik kartel justeru menunjukkan makin menguat. Perbedaan dan preferensi ideologi partai yang sempat mencuat pada awal maraknya lahir Parpol baru plus tiga Parpol lawas (PPP. Golkar, dan PDI yang kemudian bertransformasi menjadi PDI Perjuangan), secara lambat namun pasti akhirnya pupus. Disini, ungkap Slater dan  Ambardi, kolaborasi antar partai,  antar partai dan dengan pemerintah, bukan untuk berkompetisi secara demokratis dan sehat, melainkan untuk mengambil keuntungan secara curang.

Dalam situasi ini, tulis Rendy Pahrun Wadipalapa, (Kompas, 10 Mei 2022), Pemilu bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka seluas-luasnya bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. Kartel, dalam pengertian ini, adalah jejaring kolusif yang disatukan oleh kesamaan kepentingan dan selalu berjalan di atas negosiasi, kompromi, dan kooptasi antarkelompok.

Jokowi Effect

Sebenarnya kemunculan dan sekaligus kemenangan Presiden Joko Widodo di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden  (Pilpres) 2014, diharapkan membawa angin bagi perubahan demokrasi dan budaya politik secara mendasar, dengan salah satunya memberangus politik kartel hingga keakar-akarnya. Namun apa lacur, harapan tersebut sirna ketika akhirnya Jokowi juga menerapkan politik kartel dengan  memasukkan Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam kabinet.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai, masuknya Golkar dan PAN di pemerintahan bisa menjebak presiden dalam kartel politik. Padahal Presiden Jokowi sudah mendapat dukungan dua pertiga kursi di parlemen. Langkah Presiden Jokowi tersebut, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, bisa mengurangi check and balance pemerintah di parlemen.

Menjelang Pilpres 2019,  seperti ditulis Bahtiar dan kawan-kawan (Jurnal Pengawasan Pemilu Bawaslu DKI,  Agustus  2022), penguasa melakukan tranformasi dari partai massa yakni: repsentative capacity. Namun faktanya, rekayasa elektoral pada Pemilu Serentak 2019 tersebut tidak mampu meningkatkan representasi politik. Begitupun dengan tujuan partai catch-all adalah efektivitas kebijakan. Sejauh ini, janji kampanye seringkali tidak menjadi prioritas utama ketika menjabat. Program kerja dibuat untuk memenangkan pemilu, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, rekayasa elektoral pada Pemilu 2019 berdampak pada menguatnya Parpol kartel.