BARISAN.CO – Dalam buku “The Four” yang ditulis Scott Galloway, disebutkan ada empat perusahaan yang mendominasi ekonomi tanpa batas di Amerika Serikat, yakni: Amazon, Apple, Google, serta Facebook. Kesamaan dari keempatnya adalah mereka semua berdiam di sebuah lembah bernama Silicon Valley.
Sepintas lalu, Silicon Valley bak rumah impian yang begitu didambakan untuk ditinggali. Gaji tinggi seakan menjamin kesejahteraan para karyawan yang bekerja di sana. Namun sayangnya, lembah ini tak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.
Silicon Valley terletak di California, dan California dikenal sebagai negara bagian dengan pajak tertinggi di Amerika Serikat. Di sini, bahkan pajak penghasilan bagi insinyur software tingkat pemula berstatus single adalah sebesar 9,3 persen. Angka tersebut cukup tinggi dibandingkan negara bagian seperti Texas dan Florida.
Selain itu, bagi pekerja di Apple maupun Google, pajak dari gaji untuk perumahan berkisar 50-70 persen. Sedangkan untuk insinyur software Google dan Microsoft yang tinggal di Washington perlu menghabiskan 25-35 persen dari gajinya untuk pajak perumahan.
Dalam sebuah artikel Grunge dituliskan biaya hidup di Silicon Valley amat mahal. Demi Pete, dari San Fransisco, melaporkan bahwa pada 2019 gaji rata-rata karyawan Google hampir US$250.000. Angka tersebut sama sekali tidaklah sepadan. Dan lantaran itulah banyak pekerja di Silicon Valley memilih tinggal di van.
Sejak adanya ledakan teknologi, San Fransisco juga memiliki masalah perumahan yang jauh lebih buruk. Harga rata-rata rumah melonjak hampir tiga kali lipat pada awal tahun 2018 menjadi US$1,6 juta dari sebelumnya US$670.000 di tahun 2012.
Seorang peneliti di Rock Center for Corporate Governance University Stanford menyebut, terlihat orang mengemis di jalan Palo Alto tepatnya di University Avenue. Tunawisma juga mengakar di sepanjang sungai dari Markas Adobe menuju Balai Kota.
Di sinilah letak masalahnya: Kontribusi Silicon Valley terhadap kemajuan teknologi di dunia, diiringi ketimpangan yang semakin menjadi.
Dalam laporan MIT Technology, meledaknya kekayaan hanya satu bagian dari kisah ketidaksetaraan. Pendapatan yang mandek bahkan menyusut dan teknologi menjadi penyebab utama dikarenakan pekerja dengan pendidikan dan keahlian yang lebih rendah akan tertinggal.
Pandemi juga semakin menunjukkan jurang ketimpangan yang berlangsung selama ini semakin buruk. Seperti yang disampaikan oleh penulis Nelson Schwartz, dokter pramutamu memberikan hak istimewa kepada kliennya dengan mempersiapkan pengujian drive-thru di Silicon Valley. Hal itu terjadi di saat sebuah rumah sakit di pinggiran kota San Fransisco menutup pintu bagi orang miskin, sementara di pusat kotanya dibangun fasilitas benilai miliaran dolar.
Bukan hanya ketimpangan yang menjadi masalah di lembah jahanam ini. Ada pula masalah ekploitasi pekerja dan keengganan membayar pajak, yang juga menjadi kejahatan tipikal perusahaan raksasa teknologi yang hidup di Silikon Valley.
Antara 2007 hingga 2015, Amazon hanya membayar pajak sebesar 13%, Apple 17%, Google 16%, Facebook 4% dari keuntungan yang dibayarkan melalui pajak yang seharusnya untuk tarif pajak rata-rata S&P 500 adalah 27%.
Amazon pernah menyangkal bahwa mereka pengemplang pajak, meski terbukti sebaliknya. Amazon pula, lagi-lagi sebagai contoh, yang membayar buruh gudangnya seharga murah (sekitar US$10-12 per jam tanpa asuransi kesehatan) padahal jumlah pekerjanya sekitar 1,3 juta orang pada tahun 2020—jumlah yang bukan main besarnya.
Para kapitalis ini, yang bahkan mendapatkan uang saat mereka tidur, rupanya ogah menyeimbangan perekonomian dan lebih memilih memperkaya diri sendiri.