Namun, hal itu kontras dengan laporan Mongabay. Disebutkan setelah Mandalika menjadi KEK, banyak warga yang tergusur, tidak ada manfaat yang dirasakan, dan justru semakin terpinggirkan. Selain itu juga, akses jalan yang terbatas membuat banyak orang tidak dapat mengakses pekerjaan dan beberapa kehilangan lapangan pekerjaan. Ditambah, akibat pembabatan pepohonan, berkurangya rawa dan mangrove membuat Kawasan sekitar menjadi banjir.
Selain itu juga, dikutip dari majalah Tempo pada 2 Oktober 2020, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Japsara mencatat ada 16 bidang lahan yang diadukan sehingga ia meminta proyek tersebut dihentikan. Berdasarkan laporan yang dicatat Komnas HAM saat itu ada kasus salah bayar ganti rugi bahkan ada yang belum menerima ganti rugi, namun rumahnya sudah diratakan oleh tanah.
Meskipun pada Maret lalu, ITDC telah menggelontorkan dana Rp 27 M untuk pembayaran ganti untung atas pengadaan tanah kepada 10 pemilik lahan enclave yang berada di wilayah penetapan lokasi 2 jalan Kawasan Khusus The Mandalika yang akan digunakan sebagai lokasi seri balap MotoGP dan WBSK. Namun, seakan pernyatan Bamsoet diatas memang menjadi cerminan pemerintah dalam mengatasi pelanggaran HAM.
Belum lama ini juga, Indonesia menolak resolusi Responbility to Protect and The Prevention (R2P) dalam upaya PBB mencegah genosidaa, kejahatan perang, pembataian etnis, dan kejahatan perang. Sikap pemerintah tersebut menjadi Indonesia masuk dalam daftar Wall of Shame sejajar dengan Korea Utara, China, Rusia, Belarus, Suriah, dan beberapa negara lainnya.
Tidak mengherankan jika Global Peace Index 2020 Vision of Humanity dari Institute for Economic and Peace menilai jika penegakan HAM di Indonesia mengalami kemerosotan atau turun enam angka ke peringkat 49 dari 83 negara. [rif]