Scroll untuk baca artikel
Blog

SP3 KPK: Preseden Buruk Penegakan Hukum Korupsi

Redaksi
×

SP3 KPK: Preseden Buruk Penegakan Hukum Korupsi

Sebarkan artikel ini

Setelah dianalisis, BI berkesimpulan memang ada indikasi yang dicurigai. Kemudian, BDNI diwajibkan melakukan penyelesaian melalui mekanisme  Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

Berdasar pada MSAA, terhitung jumlah kewajiban pembayaran Nursalim, setelah dikurangi seluruh aset miliknya adalah sebesar Rp 28 trilyun. Perhitungan ini menimbulkan masalah ikutan, yakni satu aset yang dijaminkan oleh Nursalim, yakni pinjaman kepada petani tambak senilai Rp 4,8 trilyun, ternyata digolongkan sebagai kredit macet (misrepsentasi). Kesimpulan ini diambil berdasarkan Financial Due Dilligence (“FDD”) merupakan kegiatan pemeriksaan secara seksama yang dilakukan oleh akuntan publik / konsultan keuangan terhadap suatu perusahaan mengenai kondisi finansial dari perusahaan target dalam hal ini perusahaan Nursalim. Setelah melalui audit tersebut, Kementerian Keuangan melakukan croscheck yang hasilnya pada tahun 2007, ternyata aset Nursalim hanya laku sebesar Rp 220 milyar. Disimpulkan, selisih penjualan itu yang kemudian diklaim sebagai kerugian negara oleh BPK. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa aset yang sediakala sudah diketaui bermasalah, akan tetapi tetap diterbitkan SKL oleh Tumenggung yang kala itu menjabat sebagai Kepala BPPN.

Tumenggung sebenarnya memiliki cerita sendiri yang jika dikaitkan dengan kasus ini tentu banyak mengandung kejanggalan. Misal muncul pertanyaan, mengapa aset yang sediakala sudah dketahui bermasalah, akan tetapi tetap diterbitkan SKL oleh Tumenggung. Tentu hal ini, sangat ganjil. Uniknya lagi Tumenggung kala itu tidak dikenai pidana sebagaimana disebutkan dalam putusan kasasi. Perspektif Pidana, unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Tumenggung sudah jelas terlihat. Misalnya, sebelum menjabat Kepala BPPN, Tumenggung sempat menduduki posisi sebagai Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Pada saat menjabat, Tumenggung sempat bertemu dengan Nursalim untuk menagih pembayaran hutang BDNI. Di samping itu beberapa hari sebelum SKL itu diterbitkan, Tumenggung selaku Kepala BPPN juga sempat mengusulkan pada forum terbatas yang dihadiri Presiden Megawati untuk menghapus (write off) hutang Nursalim. Namun, rapat tersebut tidak mengasilkan putusan apa-apa. Ini menandakan pemerintah kala itu tidak menyetujui usulan dari Tumenggung.

Tidak berapa lama, tepatnya pada tanggal 26 April 2004, Tumenggung resmi mengeluarkan SKL yang ditujukan kepada PSP BDNI, Nursalim. Tumenggung sebenarnya juga menyadari bahwa dampak penerbitan SKL itu akan menghilangkan kesempatan negara untuk menagih Rp4,8 triliun dari Nursalim. Jadi, melihat perbuatan Tumenggung, dengan sendirinya unsur menghendaki dan mengetahui (willen en wetten) sudah terpenuhi. Sedangkan Nursalim, tentu harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Sebab, sedari awal niat jahat (mens rea) dari yang bersangkutan ingin mengelabui negara dengan menjaminkan aset bermasalah.