Namun tak banyak yang menyadari bahwa pertanyaan basa – basi “kapan nikah?” dan stigma – stigma tersebut berdampak pada psikologis perempuan dewasa lajang. Mereka merasa tidak nyaman saat menghadiri berbagai acara seperti resepsi pernikahan, pesta ulang tahun dan reuni.
Perempuan Lajang Di Berbagai Negara
Tak hanya di Indonesia, di wilayah daratan Cina, perempuan lajang juga dipandang negatif. Mereka yang belum menikah di atas usia 27 tahun disebut “sheng nu” atau “perempuan sisa”. Lain halnya dengan di Hongkong. Perempuan lajang dianggap positif dengan julukan “xing nu” atau “perempuan yang sedang mekar”.
Sementara itu, dari penelitian Nanik (Universitas Surabaya) dan Wiwin Hendriani (Universitas Airlangga), perempuan lajang di Malaysia juga mendapat stigma negatif. Mereka dilabeli “andartu” atau perawan tua dan acap dipanggil dengan ucapan sinis seperti “kasihan/sayang, dia perempuan belum mengalami seks juga, dan dia perempuan tidak laku.”
Kemudian di Amerika stereotype atau stigma sosial pada wanita tidak menikah ialah spinters (gadis/perawan tua) atau old maids (gadis/perawan tua/orang yang terlalu cermat) mulai ditinggalkan. Seiring perkembangan zaman, tidak menikah menjadi suatu pilihan dan gaya hidup telah membawa suatu perubahan terhadap perempuan tidak menikah. Di lingkungan komunitas yang moderat, perempuan tidak menikah mendapat pengakuan secara positif dan mendapat julukan perempuan mandiri.
Nanik dan Wiwin juga mengungkapkan terjadi peningkatan prosentase jumlah perempuan yang tidak menikah. Pilihan tidak menikah berkembang menjadi suatu gaya hidup. Tiga puluh tahun lalu, hanya 2 persen perempuan tidak menikah di hampir semua negara Asia. Namun, saat ini perempuan tidak menikah di usia 30-an di Jepang, Taiwan, Singapura, dan Hongkong meningkat 20 poin atau lebih. Di Thailand, jumlah wanita tidak menikah yang memasuki usia 40-an meningkat dari 7 persen pada tahun 1980 menjadi 12 persen pada tahun 2000.
Stop Melabeli Negatif Perempuan Lajang
Pertanyaan “kapan menikah” meski sangat lumrah dilontarkan masyarakat dari generasi ke generasi akan membawa dampak negatif bagi psikologi perempuan lajang. Menurut Nanik dan Wiwin, desakan keluarga, teman dan saudara serta stigma – stigma sosial tersebut membuat perempuan lajang stres yang dapat mengganggu kesejahteraan psikologis, khususnya mereka yang berada pada siklus the thirties, entering the “twilight zone” of singlehood atau berusia 30 – 40 tahun.
Menuding perempuan lajang dengan tidak laku juga tidak tepat karena pastinya mereka memiliki alasan. Bisa jadi karena ingin mengejar karir, ingin menikmati hidup sendiri, atau trauma yang pernah dialami. Atau bisa karena mereka belum menemukan pasangan yang cocok, karena pernikahan adalah sakral, harapannya terjadi sekali seumur hidup.