BARISAN.CO – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati atas kondisi utangnya. Peringatan disampaikan melalui publikasi dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2021. Hal serupa telah disampaikan melalui hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal tahun 2020 pada Juni lalu.
BPK mengakui dampak pandemi Covid-19 telah menambah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan utang pemerintah, yang meningkatkan risiko pengelolaan fiskal. Bahkan, dapat menganggu kesinambungan fiskal.
Kesinambungan fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel serta dapat memberikan layanan kepada masyarakat dalam jangka panjang, dengan memperhatikan faktor kebijakan belanja dan pendapatan, memperhitungkan biaya pembayaran utang dan faktor sosial-ekonomi serta lingkungan di masa depan.
Dengan kata lain, risiko bukan hanya dalam hal kemampuan membayar kewajiban seperti pelunasan pokok utang dan bunga utang. Meski kewajiban mungkin bisa terpenuhi, namun dapat menurunkan kemampuan memberi layanan kepada masyarakat. Dan, makin menyulitkan pemerintah menghadapi berbagai tantangan ekonomi di masa mendatang.
BPK mengemukakan kembali tiga indikator kerentanan utang yang telah cukup mengkhawatirkan pada tahun 2020.
Pertama, rasio utang atas pendapatan negara yang mencapai 368,99 persen. Dihitung dari posisi utang pemerintah pada akhir 2020 yang sebesar Rp6.080 triliun, sedangkan Pendapatan Negara selama setahun itu hanya mencapai Rp1.648 triliun.
Rasionya telah melampaui rekomendasi dua lembaga internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR). IMF merekomendasikan rasio yang aman di kisaran 90-150 persen, sedangkan rekomendasi IDR di kisaran 92-167 persen.
Kedua, rasio pembayaran bunga utang atas pendapatan tahun 2020 yang mencapai 19,06 persen. Dihitung dari pembayaran bunga utang setahun sebesar Rp6.080 triliun, dan Pendapatan Negara sebesar Rp1.648 triliun.
Rasionya telah jauh melampaui rekomendasi IMF di kisaran 7-10 persen, dan rekomendasi IDR di kisaran 4,6-6,8 persen.
Ketiga, rasio pembayaran beban utang dengan pendapatan tahun 2020 yang mencapau 46,76 persen. Dihitung dari pembayaran beban utang setahun sebesar Rp770,58 triliun yang terdiri dari pelunasan pokok utang sebesar Rp456,50 triliun dan bunga utang sebesar Rp314,08 triliun. Sedangkan pendapatan negara sebesar Rp1.648 triliun.
Rasionya telah melampaui rekomendasi IMF di kisaran 25-35 persen. Masih dalam batas aman rekomendasi IDR, tetapi makin mendekati batas atasnya, yakni kisaran 28-63 persen.
BPK juga menyampaikan tentang indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27%. Dalam hal ini pun melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.
“Peringatan BPK tentang kondisi utang pemerintah yang makin berisiko sebenarnya telah diberikan sejak tahun 2019, atau sebelum adanya pandemi,” kata Awalil Rizky, Kepala Ekonom Pusat Belajar Rakyat kepada Barisanco, Rabu (8/12/2021).
Awalil menambahkan pandemi memang membuat kondisinya makin mengkhawatirkan, dan wajar jika BPK kembali mengingatkan pemerintah.
“Peringatan BPK tampaknya kurang diindahkan oleh pemerintah. Antara lain dari perkembangan tiga indikator kerentanan pada tahun 2020,” tambah Awalil.
Dia memprakirakan rasio utang/pendapatan akan meningkat menjadi 408 persen, rasio bunga utang/pendapatan menjadi 21 persen, dan rasio beban utang/pendapatan sebesar 48,75%.