Istilah “politik identitas” dibuat menjadi sesuatu yang menyeramkan. Kelompok yang didukung oleh kekuatan oligarki ini juga mengkotak-kotakkan bahwa Anies
Oleh: Muhammad Fikri Efendi
SELAMA kontestasi pilkada DKI 2017 lalu berlangsung hingga Anies menjalankan tugasnya sebagai gubernur selama 5 tahun, para kelompok anti-Anies melalui para buzzernya selalu berusaha menggiring opini dengan framing yang sedemikian rupa kepada khalayak tentang sosok Anies yang mempolitisasi agama.
Istilah “politik identitas” dibuat menjadi sesuatu yang menyeramkan. Kelompok yang didukung oleh kekuatan oligarki ini juga mengkotak-kotakkan bahwa Anies dan para pendukungnya adalah kelompok agamis (bukan golongan nasionalis), sedangkan mereka yang secara politik bersebrangan dengan Anies sebagai kelompok nasionalis.
Setelah Anies merampungkan tugasnya di DKI, dukungan deklarasi presiden kepadanya bermunculan dari seluruh pelosok nusantara secara organik. Resonansi kemunculan Anies sebagai rising star memicu serangan kepada Anies dari pendukung bakal capres lainnya yang semakin gencar.
Nampak jelas terdapat upaya untuk menghadirkan kekhawatiran kepada masyarakat bahwa Anies adalah tokoh pemecah belah masyarakat. Mereka mengkosnstruksi suatu stigma tentang Anies sebagai ancaman kebhinekaan melalui julukan “bapak politik identitas”.
Ini adalah cara mereka merusak citra Anies yang sukses membangun DKI dengan kolaborasi semua agama dan warganya.
Tentu saja sangat tidak adil jika memberi label hanya kepada Anies sebagai tokoh yang dihasilkan oleh politik Identitas. Faktanya, elit yang berkuasa saat ini juga berpolitik identitas.
Joko Widodo, yang sejak 2014 dianggap bersebrangan dengan kelompok muslim, pada pemilu 2019 menggaet ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, yang juga tokoh kiai Nadhlatul Ulama sebagai cawapresnya.
Tujuannya tidak lain adalah demi mendapat dukungan pemilih muslim. Jelas itu merupakan politik identitas.
Hal ini selaras dengan ulasan Tamsil Linrung, anggota DPD-RI, dalam tulisannya pada buku “Anies Baswedan Harapan Perubahan”. Menurutnya, Anies Baswedan diserang oleh isu politik identitas ditengah lawan politiknya dibiarkan bebas berpolitik identitas.
Sebagaimana Ade Armando yang menggiring opini publik dengan mengangkat isu politik identitas agama tertentu. Senator dari Sulawesi Selatan itu juga menyinggung perihal eksistensi Islam yang seakan ingin dibuat terpisah dari eksistensi negara.
Seolah-olah, jika seseorang nasionalis, maka dia pasti bukan penganut Islam yang taat. Pun Sebaliknya, penganut Islam yang taat bukanlah seorang nasionalis.
Gegap gempita pilpres 2024 sudah begitu terasa saat ini. Attacking campaign yang ditujukan kepada Anies bermunculan sejak ia masih menjabat sebagai gubernur DKI. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka yang anti-Anies untuk menggaungkan stigma tentang Anies. Apa yang mereka lakukan bisa jadi justru akan menjadi backfire.
Semakin Anies diserang, semakin namanya “mentereng” di permukaan. Pada akhirnya publik yang akan menilai mana yang benar dan mana yang salah dengan semua rekam jejak keberhasilan Anies memimpin Jakarta. Masyarakat kita juga sudah mulai cerdas menyikapi politik yang ada.
Bagaimanapun, dalam proses pendewasaan demokrasi negara ini, kita mengharapkan kedepannya pemilu adalah pertarungan ide dan gagasan , bukan saling memfitnah dan menjatuhkan satu sama lain.