CAK NUN (CN) Emha Ainun Nadjib pernah memesan lukisan kepada saya. Pesan WA dalam bahasa Jawa itu kira-kira berbunyi: Eko, buatkan lukisan tentang saya, dengan tema gambar saya (CN) disalib bagai Yesus. Salibnya NKRI, dan di luar penyaliban itu para nitizen melempari saya dengan batu.
Pesan itu sudah lima bulan lalu, dan sejauh ini saya belum menggarap tema lukisan itu. Meski saya cukup berpikir keras, sebab di mata saya CN tidak seperti tema yang digambarkannya itu.
Bagi saya tema CN itu, mungkin, seperti yang dialami banyak orang. Tepatnya, yang diasumsikan sebagian orang dalam dunia media sosial. Taruhlah, misalnya paling monumental, dialami Ahok Basuki Tjahaya Purnama, yang harus menebus nasib di dalam penjara lantaran rekayasa dalam jagad media on line.
YouTube CN memang kerap dipotong demi kepentingan personae atau pihak tertentu demi kepentingan sepihak, yang itu memang merugikan eksistensi CN. Tapi sejauh ini pribadi CN di mata saya baik-baik saja dan tak kurang suatu apa. Dia bersama Kiai Kanjeng — mereka disebut CNKK — terus melakukan pemanggungan budaya dalam konteks Ngaji Bareng — satu penamaan yang mengisyaratkan kerendah-hatian dari konsep CNKK.
Ya, kerendah-hatian dengan nilai kebersamaan dalam lingkaran pengajian budaya. Dalam konteks ini, saya pikir, ada institusi budaya yang diugemi. Sekali pun ditaburi kritik — dengan matra ke-Islaman dan skala ke-Indonesia-an — institusi dan nilai budaya tetap diemban. Ialah, bagaimana wacana kritik bukan pada who’s who-nya, apa dan siapanya, tapi lebih mengutamakan mengapa dan bagaimananya.
Dalam content ini saya kira-kira tahu persis, CN-lah ahlinya. Dia menguasai dasar pemikiran strukturalisme — ingat buku sastra pertamanya, “Strukturalisme dalam Sastra Indonesia”. Satu cara pandang, bagaimana membaca simbol dan menerjemahkan dalam ranah kontekstual. Karya-karya sastra CN (esai, puisi, cerpen, naskah drama) terbukti ada dalam dasar pemikiran strukturalisme — bahkan post strukturalisme secara kontemporer.
Misalnya, dalam lakon sandiwara “Perahu Retak”, melalui tokoh Syeh Jangkung CN berdialog dengan dirinya sendiri akan kegelisahan eksistensinya: aku terus bertanya, apakah aku ini orang Jawa atau orang Islam. Kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri inilah, dasar dia mampu berkomunikasi dengan orang di luar dirinya. Bahkan, berkomunikasi secara apik dan segar di hadapan ribuan bahkan jutaan publik|jamaah CNKK.
Tak pelak, CNKK dengan personae utama CN mengundang pesona masyarakat bahkan lintas agama dan lini status sosial. Dari masyarakat umum, tingkat sosial terbawah, menengah, hingga kalangan atas sampai tembus ke Istana kala era Orba. Hingga CN menjadi salah satu ‘wali songo’ dalam prosesi pelengseran Presiden Soeharto. Di balik ‘kewalian’ itu, CN ‘diisyukan’ dekat dengan kalangan Cendana Soeharto.
Satu antitesa, sebab kiprah sosial CN dan kelompoknya, justru berawal dari usaha menangani kasus Kedungombo yang ini justru menjadi perlawanan terhadap rezim orba. Lanjut banyak persoalan sosial masyarakat yang ia tangani. Perhatiannya yang besar terhadap persoalan lingkungan inilah, saya kira, yang membuat nama CN masuk dalam katagori ‘guru bangsa’. Dia menjadi jujugan banyak pihak dan strata, dalam usaha pemecahan persoalan urgen-krusial di tengah masyarakat.
Di awal reformasi, saya pernah dialog berdua bersama CN. Ingat, itu hari-hari bangsa dan negara ini dalam kondisi di puncak kegentingan. Serius saya bercetus, sampean sudah teruji dalam menangani banyak persoalan bangsa, mungkin tidak sampean maju menangani kegentingan ini, praktisnya ambil peran memimpin, kalau perlu dan bisa menjadi presiden. CN tampak serius pula menanggapi cetusan saya, hingga dia berpesan: coba bicarakan ini bersama KK.