Scroll untuk baca artikel
Video

Salah Tempat Mendudukkan Sejajar Firaun

Redaksi
×

Salah Tempat Mendudukkan Sejajar Firaun

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kasatmata Creativa, Lesbumi PWNU Jawa Tengah dan Barisanco menyelenggarakan Tadaburan dengan tema Membaca Firaun di Kaula Kopi, Pedurungan Kota Semarang, Sabtu (28/1/2023).

Menghadirkan penulis buku Negeri Satire, Edhie Prayitno Ige dan Eko Tunas penulis buku puisi komedi Biografi Sarimin.

Acara dibuka dengan pembacaan puisi Agung Wibowo Patidusa yang berjudul Teknologi Cocot dan musik dari Bogel Sudarmanto.

Edhie Prayitno Ige mengatakan bahwa firaun adalah sebutan untuk raja. Ini Firaun lain, bagaimana firaun sangat menghargai kesejahteraan rakyatnya.

“Dalam sejarahnya pembangunan piramida dilakukan oleh rakyat mesir dan rakyat mesir dibangunkan rumah tembok,” imbuhnya.

Lebih lanjut Edhie menyampaikan pada saat itu tembok berlumpur, berbeda dengan kondisi sekarang. Bahkan kesejahteraan para pekerja perjalanannya makin terceking dengna aturan-aturan. Jadi saya tidak setuju jika disamakan dengan Firuan, lha pekerja asing lebih terhormat dari pada pekerja lokal” imbuhnya

“Memuji tanpa memuja, mencaci tanpa membenci,” pesannya.

Hal ini ditanggapi Ardi Kafha dalam status facebooknya yang menulikan saya angen-angen dan kemudian sepakat dengan mas Edhie Prayitno Ige bahwa salah tempat mendudukkan sejajar Firaun.

Firaun lebih beradab karena tak pernah membudakkan warga pribumi. Bahwa masyarakat Mesir adalah tuan rumah, sehingga tak patut menempatkan pendatang Bani Israil sebagai majikan,

Jadi ingat cerita Rahwana dengan Alengka-nya di kisah Ramayana, juga sejarah tujuh kasta Jawa kuno yang dipaparkan almarhum Kiai Agus Sunyoto.

Sementara, Eko Tunas menjelaskan teori strukturalisme.

“Strukturalisme dalam ilmu anatomi adalah keserasian struktur wajah. Posisi mata, hidung, mulut, yang mesti terletak di tempat semustinya dalam kesatuan muka. Lalu keintegralan kepala pundak lutut kaki lutut kaki, seperti diajarkan lagu kanak-kanak,” terangnya.

Eko Tunas mengatakan dalam Islam strukturalisme ialah nilai kejamaahan yang dilatih dalam sholat jamaah. Dalam sholat jamaah, tidak ada pemimpin dan yang dipimpin.

“Imam dan jamaah adalah satu kesatuan integral dalam ritual menghadap ke arah kiblat ke nilai tertinggi Allah, bukan ke ketinggian dinding, keindahan kubah dan kemewahan masjid,” imbuhnya.

Lebih lanjut mengatakan dalam ilmu budaya, strukturalisme bukan teori who’who, apa dan siapa, tapi mengapa dan bagaimana. Bukan semata, “matamu bagus,” dalam kesatuan wajah cantik. Bukan pula karena, sang imam yang kau hormati, dalam sembahyang Jum’atmu. Tapi apakah sholatmu benar sukses menghadap Allah, atau sekadar menghadap tembok.

Di Indonesia ada empat tokoh yang menggunakan strukturalisme yakni Ameen Budiman, Ahmad Sobary dan salah satunya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun.

Gelaran Tadaburan Membaca Firaun ditutup dengan pembacaan puisi Sury dan Musik dari Imran Amirullah