Scroll untuk baca artikel
Blog

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Redaksi
×

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Sebarkan artikel ini

Dari wajahnya, kami tahu bahwa pria itu bukan setan. Pria itu adalah pria gila yang memang berkeliaran di jalanan. Pria yang kerap berjalan-jalan di reruntuhan gedung lama peninggalan penjajah dan penuh tatapan kosong. Kami tahu, pria tersebut berusia 50 tahun. Dari tubuhnya tersebut, kami jelas tahu kalau dia sedang bersedih.

Malam ini, kami sudah membuktikan keberadaannya. Kami tahu, kalau ternyata suara itu bukan setan. Tetapi, suara orang gila yang berkeliaran di reruntuhan gedung lama tersebut. Kami lemparkan batu dan segera berlari lagi. Kami kembali ke jalanan yang ramai.

Kami berempat berhenti di depan pedagang jagung keliling. Pedagang jagung itu melambaikan tangan pada kami, meminta kami untuk mendekat. Dia berikan jagung bakar yang sudah matang secara cuma-cuma pada kami berempat.

“Kalian semua ini malam-malam kenapa olahraga, Nak?”

“Kami bukan sedang olahraga, Kek.”

“Lalu…?”

“Kami sedang mencari suara gentayangan!”

“Suara gentayangan… di mana?”

“Di reruntuhan gedung lama peninggalan Belanda itu, Kek.”

“Memang banyak setan di situ!”

“Yang kami lihat bukan setan, tapi orang gila!”

“Jangan-jangan kalian yang salah lihat!”

“Salah lihat?”

“Mungkin dia itu penjelmaan setan di gedung itu!”

“Kami sudah lihat dengan dekat, memang seorang manusia, bukan setan!”

“Bau menyan?”

“Tidak…, tapi bau orang tidak pernah mandi.”

Pedagang jagung terkekeh. Kami juga terkekeh. Tiba-tiba, wajah pedagang jagung itu serius. Seserius mungkin, seperti ada yang ingin dia bicarakan pada kami.

“Kalian dengarkan! Kalian jangan dekat-dekat gedung itu kembali!”

“Memangnya kenapa?”

“Pria gila yang kalian lihat itu tadi punya masa lalu yang sangat kelam.”

“Hah…?”

“Dia itu mantan pembunuh. Orang yang membantai istrinya sendiri secara kejam. Dulu dia orang waras seperti manusia normal. Dia menikah, tetapi tidak dikaruniai seorang anak. Dia orang yang menjadi bandar judi dan narkoba. Dia kerap kali masuk penjara. Setiap hari pekerjaannya mabuk dan maling.”

“Lalu…?”

“Lalu, pada saat itu tepat tengah malam. Terdengar suara teriakan di sebuah rumah. Seorang wanita telah tewas bersimbah darah. Lelaki itu yang membunuhnya. Wanita yang dibunuh itu adalah istrinya sendiri. Dia lalu dipenjara. Setelah pulang dari penjara, dia menjadi orang yang kurang waras. Selalu menangis dan menggedor-gedor pintu. Mungkin saja dia tidak bisa melupakan beban membunuh istrinya itu.”

“Jadi, begitu ya ceritanya. Pantas dia menangis terus!”

Kami pandangi jagung yang kami makan. Menambah keinginan kami untuk melahap habis jagung tersebut. Pedagang jagung tersebut memberi kembali kami, empat buah jagung bakar. Dia berikan secara cuma-cuma pada kami.

“Wah… tidak bisa bayar kami, Kek, kalau 8 buah jagung bakar!”

“Siapa yang suruh kalian bayar!?”

“Kami kan sudah memakannya!”

“Kalian tidak minta jagung itu padaku.”

“Karena itu, karena sudah kami makan jagung ini, kami harus membayarnya!”

“Aku tidak minta kalian untuk membayar jagung yang sudah kuberikan pada kalian!”

Pedagang jagung itu baik sekali. Dia berikan pada kami 8 buah jagung bakar secara cuma-cuma. Ketika aku ingin menolak karena kami tak punya uang untuk membayarnya, dia justru tidak minta jagung tersebut dibayar.

“Lain kali, kalau ke sana hati-hati!”

“Ke sana yang mana, Kek?”

“Gedung itu!”

“Hanya ada orang gila.”

“Banyak setan di sana!”

“Memang gimana cirinya setan, Kek?”

“Dia bisa menghilang dan berbau menyan!”

Setelah pedagang jagung itu berkata seperti itu pada kami, ada sebuah tusukan udara dingin yang mencekam. Udara yang mengerikan dan begitu sangat mencekam kembali.

Kami berkumpul di keramaian, tetapi udara dingin dan mencekam itu terasa memeluk kami. Bukan hanya aku yang merasakannya, tiga orang yang bersamaku juga merasakannya.