Ya, suara pria yang sedikit serak dan mulai kering tenggorokannya. Kami belum menemukan wujud dari suara itu. Yang kami dengar masih hanya bunyi.
Salah satu tetanggaku ini, melemparkan sebuah batu ke arah sumber suara itu. Batu itu mengenai pintu. Tak lama berselang, suara gedoran pintu berkali-kali mengudara lagi. Disusul juga suara tangisan.
Kami makin dekat. Sedikit menakutkan memang, tapi kami bersama-sama. Jadi, kami akan tetap melangkah dan mengusir rasa takut yang mencekam. Tetanggaku mencoba melempar sebuah batu kembali.
Kali ini, batu yang dilemparkan tersebut tidak mengeluarkan sebuah suara mengenai suatu benda. Hanya sebuah keheningan yang semakin membeku. Aku berpikir, mungkin batu itu sudah dihilangkannya sebelum mengenai tubuhnya.
Kami mencoba mendekat, berada di sebuah pohon aren yang lebih besar. Cukup untuk menyembunyikan kami berempat. Kami lihat dengan betul, seorang pria yang hanya memakai kolor dan tubuhnya masih ditutupi kegelapan malam.
Dari wajahnya, kami tahu bahwa pria itu bukan setan. Pria itu adalah pria gila yang memang berkeliaran di jalanan. Pria yang kerap berjalan-jalan di reruntuhan gedung lama peninggalan penjajah dan penuh tatapan kosong. Kami tahu, pria tersebut berusia 50 tahun. Dari tubuhnya tersebut, kami jelas tahu kalau dia sedang bersedih.
Malam ini, kami sudah membuktikan keberadaannya. Kami tahu, kalau ternyata suara itu bukan setan. Tetapi, suara orang gila yang berkeliaran di reruntuhan gedung lama tersebut. Kami lemparkan batu dan segera berlari lagi. Kami kembali ke jalanan yang ramai.
Kami berempat berhenti di depan pedagang jagung keliling. Pedagang jagung itu melambaikan tangan pada kami, meminta kami untuk mendekat. Dia berikan jagung bakar yang sudah matang secara cuma-cuma pada kami berempat.
“Kalian semua ini malam-malam kenapa olahraga, Nak?”
“Kami bukan sedang olahraga, Kek.”
“Lalu…?”
“Kami sedang mencari suara gentayangan!”
“Suara gentayangan… di mana?”
“Di reruntuhan gedung lama peninggalan Belanda itu, Kek.”
“Memang banyak setan di situ!”
“Yang kami lihat bukan setan, tapi orang gila!”
“Jangan-jangan kalian yang salah lihat!”
“Salah lihat?”
“Mungkin dia itu penjelmaan setan di gedung itu!”
“Kami sudah lihat dengan dekat, memang seorang manusia, bukan setan!”
“Bau menyan?”
“Tidak…, tapi bau orang tidak pernah mandi.”
Pedagang jagung terkekeh. Kami juga terkekeh. Tiba-tiba, wajah pedagang jagung itu serius. Seserius mungkin, seperti ada yang ingin dia bicarakan pada kami.
“Kalian dengarkan! Kalian jangan dekat-dekat gedung itu kembali!”