Cerpen

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Avatar
×

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Sebarkan artikel ini
Suara Muhammad Lutfi
Ilustrasi/Muhammad Lutfi

Tetangga desas-desus tentang sebuah suara yang kerap mengganggu tidur malam mereka. Suara itu adalah suara tangisan dan sebuah pukulan pintu. Tetangga kerap mendengar suara itu dari sebuah gedung  reruntuhan bekas penjajahan Belanda.

Gedung yang dulu dijadikan markas perjuangan Belanda. Tetangga yang rumahnya tidak jauh dari situ kerap kali mendengar suara-suara. Suara yang sedikit menyeramkan dan masih misteri.

Sejak aku kecil sampai sekarang, aku belum pernah mendengar tentang misteri atau sebuah tangisan di gedung tersebut. Hanya puing-puing lama dan tikus-tikus got yang kerap berisik.

Setelah mendengar tetangga-tetangga menceritakan tentang hal tersebut, aku hanya berpikir kalau itu mungkin setan lewat. Setan yang hanya numpang lewat dan kebetulan nangis di gedung tersebut.

Maklum, gedung yang kosong dan lama tanpa penerangan itu tidak pernah dipakai untuk kegiatan atau ada ide usulan direnovasi. Mungkin saja, memang kebetulan hanya setan lewat yang lagi menangis.

Malam ini, mereka berencana akan uji nyali. Mereka ingin membuktikan sumber suara yang misteri itu. Aku pun tak mau ketinggalan. Aku ikuti mereka malam ini.

Di bawah purnama yang kebetulan tanggal 15, bulan terang benderang dan bersinar cerah. Cukup terang untuk memberikan penerangan di jalan-jalan yang sedikit gelap dan menyinari gedung lama itu.

Tiga orang tetanggaku dan aku sendiri, mengikuti arah lampu sorot yang kami pancarkan untuk melakukan uji nyali. Kami berhati-hati ketika harus berjalan menyusuri gedung reruntuhan tersebut, karena masih banyak paku-paku karatan yang berbahaya dan berserakan. Kami mulai beraksi.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami belum mendengar suara itu menunjukkan keberadaannya. Kami menunggu di bawah pohon  aren yang cukup meneduhkan.

Kami berempat saling melempar canda tawa untuk mengusir keheningan. Keheningan di gedung lama adalah keheningan yang menakutkan. Jika kami harus berlari, maka kami nanti akan berlari bersama-sama.

Tepat sekali, pukul 11.30 malam, aku memandangi jam di tanganku. Suara itu mulai menunjukkan keberadaannya kembali. Suara tangisan dan gedoran pintu yang teramat keras. Kami semua terkaget.

Kami kira, itu suara tembakan. Mirip suara tembakan yang menjebol pintu. Keras sekali dan mengagetkan. Kami mencoba tenang dan tidak berisik. Satu per satu dari kami berjalan mengendap-endap untuk mendekati sumber keberadaan suara tersebut. Kami mulai melangkah.

Suara tersebut mulai semakin dekat. Suara tersebut kembali terdengar. Suara tangisan. Kalau tidak salah, menurut perkiraanku ini adalah suara pria.

Ya, suara pria yang sedikit serak dan mulai kering tenggorokannya. Kami belum menemukan wujud dari suara itu. Yang kami dengar masih hanya bunyi.

Salah satu tetanggaku ini, melemparkan sebuah batu ke arah sumber suara itu. Batu itu mengenai pintu. Tak lama berselang, suara gedoran pintu berkali-kali mengudara lagi. Disusul juga suara tangisan.

Kami makin dekat. Sedikit menakutkan memang, tapi kami bersama-sama. Jadi, kami akan tetap melangkah dan mengusir rasa takut yang mencekam. Tetanggaku mencoba melempar sebuah batu kembali.

Kali ini, batu yang dilemparkan tersebut tidak mengeluarkan sebuah suara mengenai suatu benda. Hanya sebuah keheningan yang semakin membeku. Aku berpikir, mungkin batu itu sudah dihilangkannya sebelum mengenai tubuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *