Scroll untuk baca artikel
Blog

Sudah Tepatkah Upaya Pemerintah Atasi Konflik Bersenjata di Papua?

Redaksi
×

Sudah Tepatkah Upaya Pemerintah Atasi Konflik Bersenjata di Papua?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COKemarin lalu, tokoh Papua Titus Pekei mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan label teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). Titus cemas publik Papua akan menjadi korban jika label teroris terhadap KKB tidak dicabut pemerintah.

“Segera tarik label teroris karena tidak sesuai dengan visi perjuangan. Agar tidak korbankan masyarakat setempat yang hidup tenang selama ini,” kata Titus melalui keterangan tertulis, Kamis (6/5).

Diketahui, gagasan untuk menempatkan sayap paramiliter OPM dalam kelompok teroris di Indonesia pertama kali muncul dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, Senin, akhir Maret lalu (22/3/2021).

Boy Rafli berpendapat, sesuai UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, OPM telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai terorisme. Gagasan ini didukung oleh sejumlah anggota DPR Komisi Hukum dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Namun, Titus Pekei, tokoh yang pernah mengajukan noken Papua sebagai warisan budaya dunia ini, menganggap pelabelan teroris tersebut adalah langkah keliru. Ketimbang mencap teroris dan mengirim pasukan militer ke Papua, Titus Pekei menyarankan pemerintah melakukan dialog damai tanpa kekerasan. Titus menyebut selama ini pemerintah-OPM belum pernah menempuh jalan dialog.

Seruan yang sama juga muncul dari aktivis maupun beberapa lembaga lainnya. Veronica Koman, aktivis HAM, menyebut pelabelan bisa menjadi lincense to kill aparat kepada masyarakat sipil. Sementara Komnas HAM menyatakan kecewa terhadap pelabelan teroris lantaran mengisyaratkan tertutupnya peluang terjadinya dialog. Padahal menurut Komnas HAM, pintu dialog masih bisa diupayakan.

Koordinator Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai, pelabelan hanya akan membawa dampak buruk bagi nama Indonesia di mata internasional. Apalagi, Indonesia lebih perlu menjaga nama baik sebab telah terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk kelima kalinya.

“Terlebih komitmen Indonesia terhadap persoalan penghargaan kepada HAM amat tinggi, dibuktikan secara konstitusi dengan banyaknya pasal-pasal tentang HAM pada amandemen UUD 1945 (Pasal 28 a sd J). Indonesia juga telah memiliki lembaga pemantau hak asasi manusia di mana hanya terdapat sedikit negara yang memiliki lembaga pemantau HAM,” kata Beka Ulung Hapsara dalam webinar yang diselenggarakan LP3ES, Jumat (7/5/2021).

Beka menjelaskan, masalah di Papua mengandung kompleksitas yang tinggi, sehingga penyelesaiannya perlu melihat banyak sisi. Siklus kekerasan yang tidak pernah berhenti hingga menimbulkan korban dari pihak yang bertikai terutama yang paling banyak adalah korban masyarakat sipil dan kerusakan fasilitas publik, perlu menjadi pertimbangan utama.

Selain itu, masyarakat Papua masih mengalami keterbatasan kualitas dan jangkauan informasi publik guna pemenuhan hak-hak sosial budaya. Sementara model tata kelola pemerintahan daerah masih jauh dari harapan.

Dalam soal lain, Beka menyebut, pemerintah juga perlu melihat bahwa ketika pembangunan ekonomi digalakkan di Papua, masih banyak soal hak sosial budaya Orang Asli Papua (OAP) belum terlalu mendapat porsi yang cukup.

“Yang dikedepankan selalu soal investasi dan pertumbuhan ekonomi namun tidak melihat aspek martabat dan hak adat OAP di tengah maraknya alih fungsi hutan dan lahan di Papua menjadi kebun sawit. Padahal hutan merupakan sumber kehidupan OAP,” kata Beka Ulung Hapsara.

Komnas HAM meyakini, jalan damai adalah hal paling bermartabat untuk dapat menyelesaikan kompleksitas Papua. Beka Hapsara menyebut bahwa Komnas HAM telah mengusulkan 4 pendekatan untuk itu.