Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Gaya Hidup Rendah Karbon dalam Mengolah Sampah

Redaksi
×

Gaya Hidup Rendah Karbon dalam Mengolah Sampah

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COEkonomi hijau dan pembangunan rendah emisi jelas merupakan istilah yang menarik belakangan ini. Ia jadi buzzword yang diucapkan mulai kepala negara sampai kepala daerah. Ia diupayakan serius oleh minoritas kreatif ataupun lembaga peduli.

Sayangnya, istilah yang terhimpun dalam gugus besar isu perubahan iklim ini masih terkesan elitis, juga terdengar agak teknokratik. Barangkali lantaran itulah ‘pembangunan rendah emisi’ lumayan gagal diterjemahkan sebagai aksi yang mudah dicerna akar rumput.

Namun, bukan berarti masyarakat tidak mengerti isu ini. Justru sebaliknya, bahkan sejak lama masyarakat telah terlibat aktif dalam upaya melindungi bumi dari ancaman perubahan iklim akibat meningkatnya efek gas rumah kaca.

Keterlibatan masyarakat itu boleh jadi tidak pernah terucap ataupun diorientasikan secara khusus untuk mengatasi perubahan iklim. Tapi, pelaku-pelaku ekonomi subsisten seperti pemulung misalnya, terbukti telah berhasil membentuk pola yang mendapat legitimasi sebagai praktik mengelola sampah yang ‘benar’ secara ekologis.

Sekurang-kurangnya sejak Orde Baru, pemulung telah dianggap berjasa terhadap kebersihan lingkungan lewat aksinya memilah-milah limbah organik dengan anorganik. Oleh Presiden Soeharto, bahkan pemulung diberi julukan ‘Laskar Mandiri’ atas kemampuannya menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri sendiri.

Pemulung juga menjadi ujung tombak industri limbah. Dikutip dari Kompas yang merujuk buku Dinamika Ekonomi Informasi di Jakarta (CPIS, 1994), sampah pemulung dijual ke pelapak yang menjadi perantara tingkat pertama. Pelapak menjualnya ke pemasok yang bertugas menyalurkan bahan-bahan daur ulang kepada bandar.

Bandar lantas mendistribusi limbah kepada pemroses plastik yang akan mengolah limbah plastik menjadi bijih plastik siap jual. Rantai terakhir dari ekonomi sirkular ini adalah produsen plastik yang memanfaatkan bijih plastik sebagai bahan baku produksi.

Perilaku Mengolah Sampah Rumahan

Arti penting kerja-kerja pemulung akan demikian terasa jika kita melihat lansekap makro entitas limbah.

Bagaimanapun, limbah adalah masalah serius setiap bangunan rumah. Berdasarkan data Global Footprint Network, setiap rumah menghasilkan 25 persen limbah yang menyumbang 39 persen Gas Rumah Kaca (GRK).

Sementara itu secara kumulatif pada tahun 2018, Indonesia menghasilkan sebanyak 127.077 GgCO2e limbah—atau setara dengan 8% dari total emisi GRK nasional.

Grafik 1: Emisi Gas Rumah Kaca 2018 (GgCO2e)

Sumber data: Laporan GRK KLHK 2018.

Sisi pelik dari total jumlah limbah itu adalah sebab 29,72% (37.765 GgCO2e) di antaranya merupakan limbah padat domestik dan 18,44% (23.432 GgCO2e) merupakan limbah cair domestik.

Artinya, nyaris separuh limbah nasional datang dari rumah kita sendiri-sendiri. Angka limbah domestik itupun masih lebih tinggi dibanding limbah yang datang dari aktivitas industri.

Maka, adalah benar bahwa Indonesia punya masalah dengan limbah. Dibutuhkan peran semua pihak, mulai dari individu, rumah tangga, komunitas, pemerintah, hingga sektor industri untuk mengatasinya.

Grafik 2: Emisi Sektor Limbah 2000-2018 (GgCO2e)

Sumber data: Laporan GRK KLHK 2018.

Soal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan kesadaran beberapa minoritas kreatif dalam mengelola limbah. Sebutlah misalnya Waste4Change, Jakarta Recycle Centre, Beberes, Bulksource, Rekosistem, dan Rebest Indonesia, yang berinisiatif menyediakan jasa pengangkutan sampah.

Tidak sebatas mengangkut, mereka juga memiliki strategi jangka panjang dalam upaya mengelola limbah secara bertanggung jawab. Waste4change, semisal, bahkan memiliki program daur ulang, home composting, riset, sampai melakukan edukasi kepada publik terkait pengelolaan limbah baik domestik maupun industri.