Artinya, nyaris separuh limbah nasional datang dari rumah kita sendiri-sendiri. Angka limbah domestik itupun masih lebih tinggi dibanding limbah yang datang dari aktivitas industri.
Maka, adalah benar bahwa Indonesia punya masalah dengan limbah. Dibutuhkan peran semua pihak, mulai dari individu, rumah tangga, komunitas, pemerintah, hingga sektor industri untuk mengatasinya.
Grafik 2: Emisi Sektor Limbah 2000-2018 (GgCO2e)
Sumber data: Laporan GRK KLHK 2018.
Soal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan kesadaran beberapa minoritas kreatif dalam mengelola limbah. Sebutlah misalnya Waste4Change, Jakarta Recycle Centre, Beberes, Bulksource, Rekosistem, dan Rebest Indonesia, yang berinisiatif menyediakan jasa pengangkutan sampah.
Tidak sebatas mengangkut, mereka juga memiliki strategi jangka panjang dalam upaya mengelola limbah secara bertanggung jawab. Waste4change, semisal, bahkan memiliki program daur ulang, home composting, riset, sampai melakukan edukasi kepada publik terkait pengelolaan limbah baik domestik maupun industri.
Selain nama-nama di atas, ada pula startup yang mengembangkan aplikasi pengelolaan sampah seperti MallSampah (Makassar), Angkuts (Pontianak), dan JuruSampah (DIY), maupun eRecycle (Jabodetabek).
Kehadiran mereka senapas dengan gerakan-gerakan berbasis komunitas yang sudah eksis terlebih dahulu. Begitupun mereka juga menambah gaung dari praktik luhur ‘bank sampah’ yang pada 2019, menurut catatan KLHK, telah berjumlah sekitar 11.239 unit bank dan tersebar di 34 provinsi.
Kenapa pihak-pihak minoritas kreatif ini penting, adalah karena mereka berhasil menegaskan kembali bahwa ada nilai ekonomis dari limbah. Mereka tak sekadar mengangkut sampah untuk akhirnya teronggok sebagai benda tak berharga di TPA, melainkan menyikapinya sebagai benda yang dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali.
Sebetulnya, pemerintah sudah membawa semangat daur ulang sejak ditetapkannya Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Pasal 3 UU itu disebutkan: “Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.”
Dalam konteks ini, maka bukan tanpa alasan bahwa pemerintah wajib memberi dukungan. Bagaimanapun, peran fasilitasi pemerintah untuk memastikan praktik pengelolaan limbah yang bertanggung jawab teramat penting.
Apalagi, dengan fakta bahwa limbah di Indonesia selalu naik dari tahun ke tahun, itu menunjukkan betapa harus ada kebijakan yang tegas mengatur. Tentu saja pada gilirannya itu erat kaitannya dengan seberapa besar anggaran yang disediakan. Anggaran mengisyaratkan keberpihakan. Dan keberpihakan menegaskan komitmen.