Cita-cita Bung Karno untuk memerdekakan Indonesia, merdeka tanah airnya dan merdeka bangsanya merupakan isi pledoi Bung Karno di Laanrad, pengadilan kolonial di Bandung. Bung Karno meminta “Zelf Bestuur”, meminta Indonesia mengurus sendiri bangsanya. Karena Sukarno minta merdeka, maka Belanda memenjarakan Sukarno selama 4 tahun (dijalani selama 2 tahun).
“Hiduplah tanahku…” dan “Hiduplah Indonesia Raya…” dalam lagu kebangsaan kita sejalan dengan ruh merdeka yang dimaksud Bung Karno dalam pledoinya itu. Karena merdeka itu menurutnya adalah pembebasan dari kolonialisme Belanda.
Apa itu Kolonialisme Belanda? Dalam pledoinya Bung Karno mengungkapkan kolonialisme itu adalah anak dari Imperialisme dan cucu dari Kapitalisme. Selama Kapitalisme itu berkuasa maka Indonesia belum merdeka. Selama Kapitalisme itu berkuasa maka hanya segelintir pengusaha yang mengendalikan kekuasaan sebuah negeri.
Jadi, jika kita urutkan dalam bahasa agama, ketika Allah melukiskan era Musa, dalam surat Al Ankabut 39, diurutkan musuh Musa itu adalah pertama Qorun alias Oligarki pemilik harta, lalu Fir’aun yakni penguasa dan terakhir Haman, teknokratnya Fir’aun.
Makanya Sukarno selalu memberikan spirit anti Kapitalisme dalam semua gerakannya. Di mana dalam hal ini Tan Malaka meminta Sukarno jangan berdalih, mengkritik Kapitalisme tapi kurang mengkritik penjajahan Belandanya. Padahal Sukarno sudah benar bahwa mengkritik Oligarki atau para kapitalis jahat adalah perjuangan utama.
Persoalan pokok Sukarno ketika berkuasa adalah penyingkiran atas Islam Progresif, sebuah ajaran Sosilistik Islamisme yang diajarkan gurunya, sekaligus mertunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam tesis yang dipercaya Sukarno ketika muda, lebih khususnya tahun 1926, ketika menulis “Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme”, dia yakin bahwa Islam progresif itu dapat bertemu dengan sosialisme di arah jalan yang sama, anti Oligarki dan cinta rakyat miskin.
Mungkin ada faktor lain yang membuat Sukarno berusaha mengeliminasi ideologi Islam progresif dalam konteks global saat itu. Khususnya ketika Sukarno berkiblat ke Komunis RRC.
Namun, sekali lagi, sejarah Bung Karno hadir dalam penderitaan lahir dan batinnya untuk nasib Indonesia. Arah perjuangannya adalah sosialisme, yang anti oligarki dan dominasi asing.
Pertanyaannya kemudian, pada hari lahir Bung Karno, seberapa perlu kita renungkan spirit dan ideologi perjuangannya ini? Tentu saja ini sangat penting. Dalam era Megawati Soekarnoputri, ketidakpuasan ummat Islam begitu besar pada Megawati yang merepresentasikan sosok Sukarno. Saya tidak akan membahas ini panjang lebar. Saya ingin masuk ke sosok Puan Maharani, sebagai pewaris tahta spirit Bung Karno ke depan.