Scroll untuk baca artikel
Berita

Suluk Senen Pahingan 38: Zakat Diabaikan, Keadilan Sosial Cuma Retorika?

×

Suluk Senen Pahingan 38: Zakat Diabaikan, Keadilan Sosial Cuma Retorika?

Sebarkan artikel ini
suluk senen pahingan keadilan sosial
Suluk Senen Pahingan 38/Foto: Nazih Musyaffa

“KH Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa keberagamaan tidak boleh berhenti di kepala atau hati saja. Ia harus mengalir sampai ke tangan ke tindakan nyata,” kata Ikwanusshofa.

Tasawuf dalam perspektif Dahlan, lanjutnya, bukan berarti menjauh dari dunia. Justru sebaliknya, membersihkan hati adalah langkah awal untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial.

Pemurnian niat dan kesederhanaan adalah energi untuk membangun rumah sakit, sekolah, dan layanan sosial lainnya yang bisa diakses oleh kaum miskin. Sehingga tidak heran jika KH Ahmad Dahlan tidak meninggalkan harta benda.

Ia mengingatkan, dulu Muhammadiyah dengan segala keterbatasannya bisa mendirikan sekolah gratis dan klinik untuk kaum papa.

“Inilah prioritas utama gerakan Muhammadiyah yakni di wilayah pendidikan dan layanan kesehatan,” jelasnya.

Sementara itu, Ade Bhakti memberikan perspektif dari institusi pelayanan publik.

Ia menegaskan bahwa keadilan sosial bisa diwujudkan lewat pelayanan langsung yang cepat, terbuka, dan tidak diskriminatif. Ia mencontohkan beragam tugas Damkar yang melampaui tugas pemadaman api.

“Kami dipanggil untuk mengambil rapor siswa, mengevakuasi ular dari rumah warga, sampai membuka pintu rumah yang tertutup dari dalam,” ujar Ade.

Baginya, pelayanan semacam ini adalah wajah paling nyata dari pelayanan publik. Tanpa tanya agama, status ekonomi, atau latar belakang sosial, Damkar hadir ketika masyarakat membutuhkan. Tanpa birokrasi berbelit, tanpa pungutan.

“Ketika masyarakat kecil bingung harus mengadu ke mana, kami hadir. Tak peduli siapa, kami layani,” tegasnya.

Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu dipandu oleh Ardi Kafha sebagai moderator. Suasana dinamis tercipta berkat keterlibatan aktif para peserta, mulai dari mahasiswa, pegiat komunitas, relawan, hingga tokoh masyarakat.

Para narasumber sepakat bahwa keadilan sosial tidak mungkin ditegakkan hanya lewat slogan atau narasi indah.

“Butuh sinergi antara lembaga keagamaan dan institusi publik. Keduanya harus saling menguatkan, bukan saling menunggu,” ungkap Ikwanusshofa.

Ia berharap pengelolaan zakat ke depan menjadi lebih profesional, akuntabel, dan strategis. Sementara Ade menekankan pentingnya mendesain ulang pelayanan publik agar adaptif terhadap kebutuhan warga akar rumput.

Keduanya pun mengajak masyarakat untuk aktif berkontribusi dalam pembangunan sosial. Tidak cukup hanya menuntut, warga harus ikut menjaga lingkungan sosial baik melalui zakat, infak, maupun gotong royong langsung di komunitas masing-masing. []