LINTANG hanya mduduk termangu menatap dahan-dahan Flamboyan dari balik jendela kaca ruang tamu rumahnya. Tatapan matanya kosong. Pikirannya mengembara melintasi deretan waktu dan peristiwa. Satu persatu kuntum Bunga Flamboyan yang tumbuh di halaman luruh oleh terjangan air hujan. Sesekali angin ikut mempermainkan dahan-dahan Flamboyan sehingga terlihat seperti tangan seorang gadis yang tengah melambai-lambaikan selendangnya. Kaca jendela ruang tamu sudah sedari tadi buram oleh embun. Sehingga menambah muram suasana sore itu.
Lintang sebenarnya sudah mempersiapkan diri atas keputusannya. Namun begitu keputusannya untuk berpisah dengan Bram tak pelak tetap saja meninggalkan duka mendalam di hatinya. Dua tahun menjalin cinta bersama Bram tentu banyak cerita yang telah ia torehkan. Berkali-kali ia berusaha untuk tegar tetapi tetap saja Lintang merasa terpuruk.
Ada saja kenangan yang melintas di dalam hatinya. Padahal ia sudah menyimpan seluruh pernak-pernik hadiah dari Bram. Mulanya ia berpikir benda-benda itulah yang selalu membawa Bram untuk hadir kembali di benaknya. Namun setelah barang-barang itu ia singkirkan semua, wajah Bram justru semakin sering mengintip di dalam hatinya.
Sebagai seorang gadis, sebenarnya sudah seringkali Lintang berusaha untuk menjembatani perbedaannya dengan Bram. Ia selalu punya keyakinan bahwa cintanya akan dapat menjadi jembatan bagi perbedaan diantara mereka berdua. Namun sebanyak itu pula ia harus melihat kenyataan bahwa Bram tak mungkin menjadi pendamping hidupnya. Semakin ia mengalah maka sebanyak itu pula Bram semakinmenuntutnya.
Sebagai anak keluarga priyayi Jawa, Bram begitu sangat dihormati. Nama sebenarnya dari kekasihnya tersebut adalah Raden Pandu Bramantyo. Ia adalah anak sulung dari Raden Banjar Burhan. Seorang kerabat Keraton di Solo. Ibarat kata Bram adalah putra mahkota. Semua orang di dalam lingkungan keluarganya siap untuk melayani seluruh kemauannya.
Selayaknya ningrat Jawa, Bram juga begitu istimewa menempatkan sosok ibudanya. Selalu saja Bram membandingkan Lintang dengan perempuan sepuh yang juga dapat diibaratkan sebagai seorang permaisuri raja.
“Ah andai kata kamu mau belajar memasak dengan ibuku, tentu bubur kacang hijau ini rasanya akan lebih nikmat,” kata Bram suatu pagi ketika Lintang menyuguhkan semangguk bubur kacang hijau kepadanya. Padahal Lintang berharap Bram akan memujinya. Sebagai seorang kekasih tentu saja harapan Lintang itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Bagi Bram ada saja kekurangan Lintang dibandingkan ibunya. Bahkan hingga hal yang paling remeh temeh sekalipun. Semisal cara mengaduk kopi pun Bram harus membandingkan Lintang dengan ibunya. Keterlaluan memang. Tapi itulah Bram. Lelaki yang telah mencuri hati Lintang.
“Lalu apa yang sesungguhnya Bram harapkan dari cintanya kepadaku?” tanya hati kecil Lintang suatu ketika. Bukankah cinta itu sebuah rasa yang akan memberi seluruh jawaban atas apa yang dimiliki oleh pasangannya. Ibarat kata ia adalah seluruh permakluman kepada pasangan yang ia cintai.
Pada mulanya Lintang menganggap konflik-konflik diantara mereka berdua adalah bumbu-bumbu untuk saling memahami. Namun kenyataannya tidak demikian. Konflik-konflik itu justru seperti sebuah cara Bram untuk menguasai Lintang secara mutlak. Bram ingin Lintang menjadi seperti yang ia inginkan. Tak sedikitpun tersisa jati diri Lintang. Pernah suatu kali Lintang marah karena merasa tertekan oleh sikap Bram. Tapi tak sedikitpun Bram merubah sikapnya.
Aku ini manusia yang punya kehendak! Pacaran saja dengan robot! Pasti ia akan memenuhi seluruh kemauanmu!” ucap Lintang suatu ketika sambil berdiri meninggalkan Bram yang masih duduk termangu di teras depan rumah. Anehnya lagi, lelaki itu seperti tak sedikitpun merasa bahwa sikapnya sudah sangat menjenkelkan.
Malam itu purnama ke-24. Lintang sengaja menemui Bram. Tak banyak kalimat yang ia ucapkan. Sebuah surat ia berikan kepadanya. Surat yang sedemikian singkatnya hingga Bram tak perlu hitungan menit untuk membacanya. Tekad Lintang sudah bulat. Ia ingin mengakhiri perjalanan cintanya dengan Bram. Lelaki yang ia cintai dengan segenap perasaannya.
Dan semenjak malam itu, waktu sedemikian berjalan lambat. Lintang seperti selalu ketinggalan terbitnya matahari dan tak lagi pernah menemui senja. Hari-hari Lintang rasakan hanya terang dan gelap saja. Ini hanya persoalan waktu saja, nanti pasti akan berlalu juga, pikir Lintang membesarkan hatinya sendiri. Beberapa kali Bram ingin menemuinya tetapi Lintang selalu saja menghindar. Keputusannya sudah bulat. Tak sedikitpun tersisa harapan untuk Bram kembali.
Titik-titik hujan semakin deras menumpahkan bebannya. Kuntum bunga-bungan Flamboyan tak lagi kuasa berpegang pada tangkainya. Bahkan saking derasnya, beberapa ranting bunga ikut patah berserakan seperti menjadi sebuah pertanda buruk bagi cinta Lintang.
Entah sudah berapa kali kilat menyambar angkasa. Namun tak sedikitpun mampu menarik lamunan gadis berhidung mancung tersebut. Lintang baru tersadar ketika listrik padam.
“Mungkin ada pohon tumbang menimpa kabel listrik,” gumam Lintang sambil melangkahkan kaki mencari korek api di dalam almari dapurnya. Sejurus kemudian gadis itu telah kembali. Di tangannya terlihat sebatang lilin. Nyala apinya terkesan malas menembus gelap. Gadis berkepang dua itu melangkah memasuki kamarnya.
Diletakkan saja lilin yang dipegangnya itu di atas meja tulis. Sedetik kemudian Lintang telah duduk menghadap nyala lilin tersebut. Pikirannya masih saja kosong.
Entah dari mana datangnya bisikan itu, tiba-tiba saja Lintang teringat Hanafi. Lelaki yang ia kenal 3 tahun yang lalu di sebuah pameran buku sebelum Lintang mengenal Bram. Beberapa kali mulut Lintang seperti memanggil nama Hanafi.
Ada semacam kerinduan menyergap hatinya. Sedetik kemudian tangan Lintang telah membuka laci paling bawah dari meja tulisnya. Dengan cekatan tangannya mengeluarkan setumpuk surat-surat yang dikirimkan oleh Hanafi. Hanafi memang rajin menulis surat untuk Lintang. Bagi Lintang, kedatangan Hanafi seperti sebuah episode yang kebetulan saja.
Pertemuan mereka sangat singkat dan hanya sesekali saja bertemu. Hanafi tergolong pria aneh. Ketika Lintang mengajaknya ngobrol, tak banyak yang dapat diobrolkan oleh Hanafi. Hanafi selalu berbicara tentang hal-hal yang tak dimengerti oleh Lintang. Namun begitu Lintang senang saja untuk mendengarnya. Dan ketika Hanafi menempuh belajar ke luar negeri, Lintang semakin sering menerima surat-surat dari Hanafi.
Jika surat Hanafi tak kunjung datang, Lintang merasa ada yang belum lengkap dengan hari-harinya. Padahal surat Hanafi lebih mirip makalah ilmiah ketimbang surat seorang sahabat. Surat yang oleh Hanafi selalu ditulis dengan mesin ketik. Ia selalu memilih spasi tunggal dan huruf Time New Roman ukuran 12 untuk surat-suratnya itu.
Lintang sengaja menjumput surat yang paling bawah dari tumpukan surat Hanafi. Lintang sudah lupa kapan surat itu diterimanya. Perlahan jemari Lintang mulai membuka surat Hanafi yang hampir setebal paper kuliah itu.
Lintang sahabatku yang baik,….Begitulah Hanafi selalu mengawali surat-suratnya.
Kita tentu tak sedang bermimpi untuk menghindari modernisasi. Tulis Hanafi membuka suratnya. Modernisasi memang adalah keharusan dari perjalanan peradaban manusia di muka bumi saat ini. Tapi bukan berarti manusia disingkirkan oleh mesin-mesin dan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Manusia tidak boleh teraleniasi dari habitat dan masyarakatnya sendiri. Karena jika itu terjadi artinya hak hidup manusia sudah tterampas.
Lintang,… Kamu percaya tidak? Demokrasi saat ini bukan berjalan ke arah humanisme universal tetapi justru lebih menuju ke arah menguatnya para tirani. Lihat saja para penguasa itu dengan gagahnya telah memproduksi aneka kebijakan publikuntuk melanggengkan kekuasaannya. Masak rakyat tidak boleh memilih calon presiden yang ia inginkan? Aneh bukan?
Tampaknya tak lagi berlaku logika bahwa sekerat roti lebih tajam ketimbang peluru. Saat ini tak mungkin mengharapkan orang miskin untuk berkembang menjadi kekuatan revolusioner.
Ceritaku yang satu ini mungkin akan membuatmu geleng-geleng kepala saja. Para lord land, politisi dan polisi itu bersama koleganya yang lain selalu menggelar pesta-pesta. Aneka hidangan terhidang tumpah ruah di atas meja makan.
Apabila merasa kekenyangan namun masih ingin menyantap makanan yang masih terus saja dihidangkan di atas meja makan, maka pergilah para lord land itu ke kamar mandi. Di sana ia akan memasukkan telunjuknya ke dalam mulutnya sendiri hingga hampir menyentuh tenggorokan. Akibatnya tentu saja secara spontan perut akan terasa mual dan segera saja memuntahkan seluruh makanan yang telah ditelannya.
Dengan begitu perut menjadi kosong kembali. Kekosongan inilah yang memang diharapkan. Dengan begitu ada naluri untuk melahap kembali makanan yang terus saja dihidangkan dalam pesta-pesta tersebut.
Sementara itu di dapur para budak perempuan tak henti-hentinya memasak demi kepuasan para tuannya.
Dan Esok paginya dengan mata masih sedikit mengantuk para budak dan para lord land tersebut duduk berderet-deret membentuk shaff yang rapi untuk mendengarkan khotbah tentang keadilan dan jalan keselamatan.
Jangan kamu tanyakan keadilan dan jalan keselamatan macam apa karena mereka juga tidak mengerti. Masing-masing dari mereka hanya tahu bahwa itu semua adalah takdirnya.
Sampai di sini senyum Lintang mengembang. Tak sekalimatpun ia mengerti isi surat Hanafi. Kalimat-kalimat itu seperti sebuah dongeng atau mungkin hanya deretan kata yang tak ada maknanya sama sekali..