Aku ini manusia yang punya kehendak! Pacaran saja dengan robot! Pasti ia akan memenuhi seluruh kemauanmu!” ucap Lintang suatu ketika sambil berdiri meninggalkan Bram yang masih duduk termangu di teras depan rumah. Anehnya lagi, lelaki itu seperti tak sedikitpun merasa bahwa sikapnya sudah sangat menjenkelkan.
Malam itu purnama ke-24. Lintang sengaja menemui Bram. Tak banyak kalimat yang ia ucapkan. Sebuah surat ia berikan kepadanya. Surat yang sedemikian singkatnya hingga Bram tak perlu hitungan menit untuk membacanya. Tekad Lintang sudah bulat. Ia ingin mengakhiri perjalanan cintanya dengan Bram. Lelaki yang ia cintai dengan segenap perasaannya.
Dan semenjak malam itu, waktu sedemikian berjalan lambat. Lintang seperti selalu ketinggalan terbitnya matahari dan tak lagi pernah menemui senja. Hari-hari Lintang rasakan hanya terang dan gelap saja. Ini hanya persoalan waktu saja, nanti pasti akan berlalu juga, pikir Lintang membesarkan hatinya sendiri. Beberapa kali Bram ingin menemuinya tetapi Lintang selalu saja menghindar. Keputusannya sudah bulat. Tak sedikitpun tersisa harapan untuk Bram kembali.
Titik-titik hujan semakin deras menumpahkan bebannya. Kuntum bunga-bungan Flamboyan tak lagi kuasa berpegang pada tangkainya. Bahkan saking derasnya, beberapa ranting bunga ikut patah berserakan seperti menjadi sebuah pertanda buruk bagi cinta Lintang.
Entah sudah berapa kali kilat menyambar angkasa. Namun tak sedikitpun mampu menarik lamunan gadis berhidung mancung tersebut. Lintang baru tersadar ketika listrik padam.
“Mungkin ada pohon tumbang menimpa kabel listrik,” gumam Lintang sambil melangkahkan kaki mencari korek api di dalam almari dapurnya. Sejurus kemudian gadis itu telah kembali. Di tangannya terlihat sebatang lilin. Nyala apinya terkesan malas menembus gelap. Gadis berkepang dua itu melangkah memasuki kamarnya.
Diletakkan saja lilin yang dipegangnya itu di atas meja tulis. Sedetik kemudian Lintang telah duduk menghadap nyala lilin tersebut. Pikirannya masih saja kosong.
Entah dari mana datangnya bisikan itu, tiba-tiba saja Lintang teringat Hanafi. Lelaki yang ia kenal 3 tahun yang lalu di sebuah pameran buku sebelum Lintang mengenal Bram. Beberapa kali mulut Lintang seperti memanggil nama Hanafi.
Ada semacam kerinduan menyergap hatinya. Sedetik kemudian tangan Lintang telah membuka laci paling bawah dari meja tulisnya. Dengan cekatan tangannya mengeluarkan setumpuk surat-surat yang dikirimkan oleh Hanafi. Hanafi memang rajin menulis surat untuk Lintang. Bagi Lintang, kedatangan Hanafi seperti sebuah episode yang kebetulan saja.
Pertemuan mereka sangat singkat dan hanya sesekali saja bertemu. Hanafi tergolong pria aneh. Ketika Lintang mengajaknya ngobrol, tak banyak yang dapat diobrolkan oleh Hanafi. Hanafi selalu berbicara tentang hal-hal yang tak dimengerti oleh Lintang. Namun begitu Lintang senang saja untuk mendengarnya. Dan ketika Hanafi menempuh belajar ke luar negeri, Lintang semakin sering menerima surat-surat dari Hanafi.
Jika surat Hanafi tak kunjung datang, Lintang merasa ada yang belum lengkap dengan hari-harinya. Padahal surat Hanafi lebih mirip makalah ilmiah ketimbang surat seorang sahabat. Surat yang oleh Hanafi selalu ditulis dengan mesin ketik. Ia selalu memilih spasi tunggal dan huruf Time New Roman ukuran 12 untuk surat-suratnya itu.