Scroll untuk baca artikel
Blog

Surat dari Seberang Kegilaan – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Surat dari Seberang Kegilaan – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Lalu apa yang sesungguhnya Bram harapkan dari cintanya kepadaku?” tanya hati kecil Lintang suatu ketika.  Bukankah cinta itu sebuah rasa yang akan memberi seluruh jawaban atas apa yang dimiliki oleh pasangannya.  Ibarat kata ia adalah seluruh permakluman kepada pasangan yang ia cintai.

Pada mulanya Lintang menganggap konflik-konflik diantara mereka berdua adalah bumbu-bumbu untuk saling memahami.  Namun kenyataannya tidak demikian.  Konflik-konflik itu justru seperti sebuah cara Bram untuk menguasai Lintang secara mutlak.  Bram ingin Lintang menjadi seperti yang ia inginkan.  Tak sedikitpun tersisa jati diri Lintang.  Pernah suatu kali Lintang marah karena merasa tertekan oleh sikap Bram.  Tapi tak sedikitpun Bram merubah sikapnya.

Aku ini manusia yang punya kehendak!  Pacaran saja dengan robot!  Pasti ia akan memenuhi seluruh kemauanmu!” ucap Lintang suatu ketika sambil berdiri meninggalkan Bram yang masih duduk termangu di teras depan rumah.  Anehnya lagi, lelaki itu seperti tak sedikitpun merasa bahwa sikapnya sudah sangat menjenkelkan.

Malam itu purnama ke-24. Lintang sengaja menemui Bram.  Tak banyak kalimat yang ia ucapkan.  Sebuah surat ia berikan kepadanya.  Surat yang sedemikian singkatnya hingga Bram tak perlu hitungan menit untuk membacanya.  Tekad Lintang sudah bulat.  Ia ingin mengakhiri perjalanan cintanya dengan Bram.  Lelaki yang ia cintai dengan segenap perasaannya.

Dan semenjak malam itu, waktu sedemikian berjalan lambat.  Lintang seperti  selalu ketinggalan terbitnya matahari dan tak lagi pernah menemui senja.  Hari-hari Lintang rasakan hanya terang dan gelap saja.  Ini hanya persoalan waktu saja, nanti pasti akan berlalu juga, pikir Lintang membesarkan hatinya sendiri.  Beberapa kali Bram ingin menemuinya tetapi Lintang selalu saja menghindar.  Keputusannya sudah bulat.  Tak sedikitpun tersisa harapan untuk Bram kembali.

Titik-titik hujan semakin deras menumpahkan bebannya.  Kuntum bunga-bungan Flamboyan tak lagi kuasa berpegang pada tangkainya.  Bahkan saking derasnya, beberapa ranting bunga ikut patah berserakan seperti menjadi sebuah pertanda buruk bagi cinta Lintang.

Entah sudah berapa kali kilat menyambar angkasa.  Namun tak sedikitpun mampu menarik lamunan gadis berhidung mancung tersebut.  Lintang baru tersadar ketika listrik padam. 

“Mungkin ada pohon tumbang menimpa kabel listrik,” gumam Lintang sambil melangkahkan kaki mencari korek api di dalam almari dapurnya.  Sejurus kemudian gadis itu telah kembali.  Di tangannya terlihat sebatang lilin.  Nyala apinya terkesan malas menembus gelap.  Gadis berkepang dua itu melangkah memasuki kamarnya.