Scroll untuk baca artikel
Blog

Surat dari Seberang Kegilaan – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Surat dari Seberang Kegilaan – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Diletakkan saja lilin yang dipegangnya itu di atas meja tulis.  Sedetik kemudian Lintang telah duduk menghadap nyala lilin tersebut.  Pikirannya masih saja kosong.

Entah dari mana datangnya bisikan itu, tiba-tiba saja Lintang teringat Hanafi.  Lelaki yang ia kenal 3 tahun yang lalu di sebuah pameran buku sebelum Lintang mengenal Bram.  Beberapa kali mulut Lintang seperti memanggil nama Hanafi. 

Ada semacam kerinduan menyergap hatinya.  Sedetik kemudian tangan Lintang telah membuka laci paling bawah dari meja tulisnya.  Dengan cekatan tangannya mengeluarkan setumpuk surat-surat yang dikirimkan oleh Hanafi.  Hanafi memang rajin menulis surat untuk Lintang.  Bagi Lintang, kedatangan Hanafi seperti sebuah episode yang kebetulan saja.   

Pertemuan mereka sangat singkat dan hanya sesekali saja bertemu.  Hanafi tergolong pria aneh.  Ketika Lintang mengajaknya ngobrol, tak banyak yang dapat diobrolkan oleh Hanafi.  Hanafi selalu berbicara tentang hal-hal yang tak dimengerti oleh Lintang.  Namun begitu Lintang senang saja untuk mendengarnya.  Dan ketika Hanafi menempuh belajar ke luar negeri, Lintang semakin sering menerima surat-surat dari Hanafi. 

Jika surat Hanafi tak kunjung datang, Lintang merasa ada yang belum lengkap dengan hari-harinya.  Padahal surat Hanafi lebih mirip makalah ilmiah ketimbang surat seorang sahabat.  Surat yang oleh Hanafi selalu ditulis dengan mesin ketik.  Ia selalu memilih spasi tunggal dan huruf Time New Roman  ukuran 12  untuk surat-suratnya itu.  

Lintang sengaja menjumput surat yang paling bawah dari tumpukan surat Hanafi.  Lintang sudah lupa kapan surat itu diterimanya.  Perlahan jemari Lintang mulai membuka surat Hanafi yang hampir setebal paper kuliah itu.

Lintang sahabatku yang baik,….Begitulah Hanafi selalu mengawali surat-suratnya.

Kita tentu tak sedang bermimpi untuk menghindari modernisasi.  Tulis Hanafi membuka suratnya.  Modernisasi memang adalah keharusan dari perjalanan peradaban manusia di muka bumi saat ini.  Tapi bukan berarti manusia disingkirkan oleh mesin-mesin dan aturan yang telah dibuatnya sendiri.  Manusia tidak boleh teraleniasi dari habitat dan masyarakatnya sendiri.  Karena jika itu terjadi artinya hak hidup manusia sudah tterampas.

Lintang,…  Kamu percaya tidak?  Demokrasi saat ini bukan berjalan ke arah humanisme universal tetapi justru lebih menuju ke arah menguatnya para tirani.  Lihat saja para penguasa itu dengan gagahnya telah memproduksi aneka kebijakan publikuntuk melanggengkan kekuasaannya.  Masak rakyat tidak boleh memilih calon presiden yang ia inginkan?  Aneh bukan?