SEBAGAIMANA diriwayatkan oleh sebuah hadits, suatu ketika Nabi Muhammad SAW didatangi Jahimah as-Salami yang minta pendapatnya tentang Jihad. “Apakah engkau masih punya ibu?” tanya beliau, dijawab iya oleh Jahimah. “Hendaklah engkau berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya,” kata Nabi.
Hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan ath-Thabrani itu menjelaskan, betapa Nabi Muhammad SAW sangat memuliakan perempuan. Karena sesungguhnya dari rahim perempuan itu kehidupan manusia dimulai. Kecuali saja mungkin Adipati Karno yang dalam pewayangan Jawa dikisahkan lahir dari telinga Dewi Kunthi.
Namun seiring derasnya pembangunan perkotaan yang memerlukan tempat tinggal, kantor, tempat belanja, tempat hiburan dan seterusnya, surga yang menawarkan berbagai fasilitas kehidupan yang begitu menggiurkan sudah dikangkangi oleh para pengembang.
Ibu memang tetap dihormati. Tapi sudah semakin sedikit orang yang percaya ada Surga di telapak kakinya. Maka makin sedikit pula orang bersimpuh memegang telapak kaki ibunya di hari Lebaran. Karena Surga sudah dikudeta oleh Para Pengembang yang menawarkan kenikmatan hidup, harapan dan lebih pasti dijangkau oleh segelintir orang.
Di jantung-jantung perkotaan bermunculan apartemen yang menyatu dengan hotel, kompleks perkantoran dan mall. Tak jauh dari sana berdiri pusat-pusat hiburan yang menawarkan bidadari-bidadari cantiknya. Semua fasilitas hidup yang serba wah tersedia.
Maka, surga, setidaknya surga dunia, tidak lagi berada di bawah telapak kaki ibu. Melainkan sudah take-over di kaki para Pengembang. Kalau surga sudah diambil-alih oleh para Pengembang terus siapa saja orang-orang yang masuk surga?
Tentu saja bukan jenis manusia yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan berbuat baik kepada sesama sebagaimana yang diperintahkan oleh agama. Bukan pula yang rajin beribadah ke masjid, kuil, kelenteng, sinagog atau gereja. Melainkan orang-orang berkantong tebal tidak peduli apa agamanya dan dari mana asal-muasal harta kekayaannya.
Gus Mus, Buya Syafii Maarif atau Romo Sandiawan tidak akan pernah bisa masuk surga berbintang 5 yang ditawarkan oleh Para Pengembang. Paling mereka hanya bisa masuk ruang lobi atau tritisannya saja.
Sebab Daya beli adalah satu-satunya tiket untuk masuk surganya pengembang. Semakin tinggi daya beli, semakin banyak kenikmatan hidup yang ditawarkan. Bahkan Kekaisaran Roma beserta kolam renang dan bidadari-bidadarinya bisa anda bangun, selama anda mampu membayar semuanya.
Penghuni surganya pengembang setiap melangkah ke lift dengan kartu yang hanya bisa diakses oleh orang tertentu, disambut bak seorang raja. Terlebih bila penghuni itu royal mencipratkan sejumlah tip ke petugas security yang helmnya bertuliskan PKD.
Saat perekonomian diprediksi akan terus bergairah, para Pengembang terus bergerak menciptakan sorga-sorga kehidupan yang baru. Kawasan Pondok Indah yang tahun 1970-an masih perkebunan karet disulap menjadi kompleks permukiman mewah.
Begitu pula dengan Serpong, Karawaci, Cikarang, Cirendeu, dan sebagainya. Hunian yang lebih sederhana dengan daya beli menengah ke bawah juga dibangun di Depok. Singkat cerita, setiap orang dibuatkan sorganya masing-masing yang fasilitasnya tergantung dari daya beli. Bukan iman dan taqwa sebagaimana kita orang-orang beragama.
Bukan itu saja, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, sebuah stasiun televisi swasta gencar menawarkan promosi. “Buruan, hanya Rp1 miliar, tiga hari lagi naik Rp1,2 miliar,” cetus bintang iklannya, tak lupa menampilkan maket-maket kompleks hunian super mewah.