Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Surga itu

Redaksi
×

Surga itu

Sebarkan artikel ini

Siang hingga sore, ia masih harus wira-wiri ke Unnes, kuliah S2. Saya mengantar dan menungguinya. Acap kali bantu mengerjakan tugas-tugasnya di perpustakaan kampus. Kami melakoni keseharian di sebuah kontrakan di Kampung Jambon, Ungaran, layaknya bulan madu.

Sore, ketika senggang usai kuliah, padahal sering senggangnya ketimbang tidak, kami jalan-jalan mengitari Ungaran. Sebagai pemukim baru, tentu saja kami mesti paham lagi hafal seluk-beluk kota Ungaran dan sekitarnya. Kami tanjaki lereng Gunung Ungaran. Kami susuri desa demi desa yang mengitari Kota Ungaran.

Tapi, ah, memang begitu yang digariskan Tuhan. Ternyata calon anak pertama kami, tidak Ia izinkan untuk turut membersamai kami. Sang kecil gugur dalam kandungan. Saya syok. Ia pun muram. Akhirnya ia putuskan untuk tidak menyelesaikan kuliah. Ia berhenti, padahal tinggal kuliah akhir dan pengerjaan tesis.

Acara jalan-jalan, yang sempat jadi ritual saban sore, pun kami hentikan. Kami menjalani proses berkeluarga layaknya orang rumahan. Masih bertempat di kontrakan.  Saya menyewakan dan jual keliling buku. Sedang ia buka bimbingan les privat baca Quran. Pelan-pelan keceriaannya pulih. Ia tak lagi memendam durja lantaran tak dipercaya Tuhan untuk mengasuh anak.

Lagi-lagi saya patut bersyukur, bahkan kualat sekira tidak. Ia lebih tegar. Kini, bersama Isa (yang berarti anak kedua) dan Rakai (sang bontot), kami mengayuh biduk keluarga penuh riang meski bersahaja.

Ia sedikit pun tak mengeluh. Bahkan sekadar baju ganti atau kerudung pun, ia tak pernah menuntut saya untuk mengadakan. Termasuk urusan berbagi peran, domestik dan publik, ia tak menyoal. Benar-benar, bersamanya adalah surga. Anugerah tak bertara.

Hmmm, saya masih teringat banget, ia begitu grogi menyentuh tangan saya saat acara foto-foto, usai menerima buku nikah, setelah berikrar di depan naib. Padahal sudah resmi sebagai suami-istri. Sudah sah untuk apa saja, apalagi sekadar berpegangan tangan.

Sungguh, berdiri untuk foto dengan para handai taulan pun mesti saya papah. Entah, lantaran saking cinta atau sekadar haru, atau apa? Ah, tak soal, memang.

Sebab, yang pasti ia, Rahma, tak bermanyun ria di hadapan saya itu sudah lebih dari cukup. Itu merupakan surga. Rahma merupakan rupa berornamen surgawi bagi saya. Dan, bagaimana mungkin saya tak bersetia padanya! Terlebih setelah kehadiran kedua biji mata, Isa dan Rakai.

Ya, surga saya itu bernama Rahma! Ia membimbing saya untuk tidak silau dengan gemerlap modern, dan segala sihir dari negara maju.