Piter Abdullah menyebut tidak ada urgensi bagi Indonesia untuk menaikkan garis kemiskinan.
BARISAN.CO – Bank Dunia melempar pujian kepada pemerintah soal pengentasan kemiskinan selama 20 tahun terakhir.
Country Director World Bank Indonesia, Satu Kähkönen, mengatakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan ekstrem dari 19 persen pada 2002 menjadi 1,5 persen pada 2022 dengan garis kemiskinan US$1,90 per hari, merupakan pencapaian yang mengesankan.
“Saya ingin mengucapkan selamat kepada Indonesia dan Pemerintah Indonesia atas pencapaian yang luar biasa ini,” ujar Satu Kähkönen pada acara Indonesia Poverty Assesment yang digelar kemarin, Selasa (9/5/2023).
Menurutnya, pencapaian ini perlu dijadikan momentum untuk menyusun kebijakan baru, misalnya dengan menaikkan garis kemiskinan dari US$1,90 per hari menjadi US$3,20 per hari.
Satu Kähkönen beranggapan, garis kemiskinan di Indonesia harusnya diukur dengan paritas daya beli (purchasing power parity), bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan hari ini sejak 2011.
Rekomendasi Bank Dunia ini memunculkan perdebatan. Beberapa pengamat merasa tak keberatan jika garis kemiskinan Bank Dunia itu dipakai. Apalagi, garis kemiskinan US$3,20 per hari sudah digunakan banyak negara berpendapatan menengah.
Menteri keuangan Sri Mulyani beranggapan lain. Menurutnya, ukuran itu tidak bisa seketika digunakan karena masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang berbeda satu sama lain. Sehingga, pengeluaran masyarakat untuk hidup berbeda satu dengan yang lain.
“Saat Anda berpergian Ramadan, mudik Lebaran, seperti saya ke Semarang dan berkeliling menikmati restoran lokal, harganya sangat murah. Ini di Semarang salah satu kota besar. Jika ke tempat yang lebih rendah akan lebih murah,” tuturnya.
Kondisi perbedaan struktur harga itu membuat ukuran Bank Dunia, menurut Sri Mulyani, harus ditelaah lebih lanjut.
Rekomendasi Bisa Diabaikan
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, beranggapan bahwa tidak ada urgensi bagi Indonesia untuk mengikuti kajian Bank Dunia.
Menurutnya, setiap ukuran harus menyesuaikan dengan perekonomian domestik. “Kondisi masing-masing negara berbeda, dan Indonesia tidak perlu atau tidak wajib mengikuti rekomendasi Bank Dunia,” katanya saat Barisanco menghubungi, Rabu (10/5/2023).
Ada sejumlah konsekuensi jika garis kemiskinan dinaikkan. Misalnya, kata Piter, akan ada perubahan perhitungan dan pengakuan produk domestik bruto yang harus menyesuaikan Purchasing Power Parity (PPP), jika garis kemiskinan dinaikkan mengikuti PPP.
Selain itu harus diperhitungkan pula keberadaan provinsi-provinsi di mana garis kemiskinan US$1,90 per hari masih terindikasi terlalu tinggi.
“Menurut saya ada beberapa anomali misalnya di Yogyakarta yang jumlah penduduk miskin sangat tinggi [menggunakan garis kemiskinan US$1,90 per hari], tetapi dari indeks kebahagiaan masyarakat Yogyakarta adalah yang paling bahagia,” kata Piter mencontohkan.
Oleh karena karakteristik demikian, menurutnya, perubahan garis kemiskinan harus benar-benar berdasarkan kondisi Indonesia.
Namun Piter juga menyebut pada prinsipnya perubahan garis kemiskinan sangat dimungkinkan. Dengan kajian yang mempertimbangkan kondisi spesifik, bisa saja garis kemiskinan itu dinaikkan atau bahkan diturunkan.