Gelombang protes muncul dari kalangan santri setelah tayangan Trans7 dianggap melecehkan ulama sepuh Lirboyo, KH Anwar Manshur.
PERSOALAN yang menimpa Trans7 pasca tayangan program yang dianggap melecehkan KH. Anwar Manshur, ulama sepuh Pondok Pesantren Lirboyo, membuka kembali perbincangan serius tentang tanggung jawab moral dan etika media di tengah masyarakat religius seperti Indonesia.
Dalam era keterbukaan informasi, batas antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur tampak semakin kabur.
Reaksi keras dari kalangan santri dan Nahdliyyin, yang membanjiri media sosial dengan tagar #BoikotTrans7, bukan sekadar bentuk kemarahan emosional, melainkan respon moral kolektif terhadap apa yang mereka nilai sebagai pelecehan terhadap simbol kehormatan keagamaan.
Dalam kultur pesantren, sosok kiai bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga sumber hikmah, penjaga tradisi, dan pembimbing moral masyarakat.
Menyentuh kehormatan kiai berarti mengguncang fondasi kultural yang telah berakar selama berabad-abad.
Di sinilah kritik utama terhadap Trans7 menemukan relevansinya. Kebebasan pers tidak bisa dipertentangkan dengan tanggung jawab sosial.
Jurnalisme yang baik seharusnya menjadi ruang dialog, bukan alat framing yang menyesatkan. Pernyataan Ketua LBH Ansor Kota Kediri, Bagus Wibowo, yang menegaskan pentingnya “pemberitaan berimbang dan beretika,” seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh pelaku media bahwa narasi yang tidak diverifikasi dapat berubah menjadi luka sosial.
Tayangan yang dianggap menyesatkan itu menunjukkan betapa mudahnya media televisi arus utama terjebak dalam sensasionalisme.
Alih-alih mencerdaskan publik, pemberitaan semacam itu justru menimbulkan polarisasi dan kehilangan kepercayaan masyarakat santri terhadap media nasional.
Dalam konteks ini, tuntutan santri agar CT Corp dan Trans7 meminta maaf secara terbuka bukan hanya soal harga diri, tetapi juga pemulihan etika komunikasi publik.
Lebih jauh, persoalan yang tranding ini menjadi cermin tentang pentingnya literasi media berbasis nilai spiritual dan kebudayaan.
Media seharusnya memahami lanskap sosial yang mereka liput, terutama ketika menyangkut komunitas pesantren sebuah ruang yang menjunjung tinggi adab dan kesantunan sebagai bagian dari iman.
Setiap narasi yang keluar dari ruang redaksi haruslah lahir dari kesadaran etis, bukan sekadar memenuhi target rating atau tren algoritmik.
Pada akhirnya, kritik terhadap Trans7 ini bukan hanya seruan untuk meminta maaf, tetapi ajakan untuk menata ulang etika media di tengah masyarakat beragama.
Pers yang merdeka tidak boleh kehilangan rasa tanggung jawab terhadap nilai kemanusiaan dan kehormatan simbol-simbol keagamaan. Karena ketika media kehilangan adab, publik pun kehilangan kepercayaannya. []