Negara terus memproduksi manusia-manusia yang sejatinya telah menjadi binatang yang paling buas. Berkumpul dan bermufakat, segelintir orang berhasil mengadakan eksploitasi manusia atas manusia, merusak alam dan menghancurkan aqidah umat.
Oleh: Yusuf Blegur
RASA sakit itu ada, darah yang tertumpah itu nyata, dan kehilangan nyawa itu fakta. Mirisnya, semua itu dianggap lumrah, alami dan didaulat sebagai sunatullah, meminjam istilah yang sering disebut para Kyai dan santri.
Ada ketakinan kuat bahwasanya kebahagiaan dan penderitaan itu takdir yang harus diterima, bukan yang harus diperjuangkan atau ikhtiar yang harus ditempuh apapun hasil dan resikonya.
Premis ortodoks itu terlalu mengakar kuat dalam sanubari dan menuntun pandangan hidup banyak orang di republik ini.
Teraniaya lahir batin itu tak terhindarkan. Diperkosa haknya kerap terjadi dan bertubi-tubi.
Menangis meraung-raung, sesak dalam dada, menjadi simbol perlawanan yang lemah dan terbata-bata.
Pergumulan dan konflik batin itu menyeruak menyebar ke seluruh tubuh, menjadi penyesalan dan mewujud penyakit mental dan fisik.
Si papa dan terisolir dari kelayakan hidup terus berada dalam ketertindasan, hanya bisa menjemput atau dijemput kematian.
Ikatan sosial begitu rapuh, persaudaraan kian terkikis, dan kemanusiaan semakin langka. Tak ada lagi keyakinan aku adalah engkau dan engkau adalah aku. Perasaan senasib dan sependeritaan itu tak lagi memiliki ruang di hati sesama.
Semua jelata terseok-terseok sekedar mencari makan untuk bertahan hidup, di tengah pesta-pora sekelompok kecil orang.
Keadilan terus menjauh, menghilang ditelan bumi. Kesetaraan terpuruk tak sanggup melawan tembok kokoh feodalisme. Kekayaan yang mengangkangi jabatan dan otoritas terus menyuburkan keangkuhan, kesewenang-wenangan dan mewujud rezim atau golongan tiran.
Terjebak oleh kapitalisme yang memiskinkan dan menjadikan manusia hanya sebagai budak nafsu. Harga sebuah jiwa dan kesadaran begitu teramat murah bahkan acapkali tak ada nilainya.
Kepemilikan modal tak terbatas itu menjadi mesin penghancur keberadaban atas nama modernitas.
Pikiran pembebasan sering kalah dan menyerah pada kemapanan stasus sosial dan materi. Individualitas dan golongan pemilik kuasa besar bergentayangan dalam ranah publik, mencaplok yang kecil, bodoh dan tak berdaya.
Para pemimpin dan penguasa yang ada, kebanyakan tak ubahnya menjadi iblis dalam wujud manusia atau setidaknya menjadi manusia berwatak iblis.
Kini, teramat banyak yang menjerit dalam diam. Kesakitan yang terangat sangat begitu menyayat, hadir dalam suasana penderitaan lahir dan batin yang marak dan beragam. Kehilangan tanah dan tempat tinggal karena terusir dan tergusur.
Luka, penjara dan kematian menjadi konsekuensi logis ketika memperjuangkan harta benda yang dimiliki. Terlebih saat menginginkan kebenaran, ia sungguh pahit dan getir. Penghidupan yang layak hanya sebatas mimpi, apalagi kesejahteraan.