TAK ADA PUISI UNTUKMU
Tak ada puisi untukmu hari ini
Hari-hari berlalu seperti angin lalu
Di Matahari, Pantura atau Yogya, aku mesti mengurangi gula dan garam
Jadi tak ada teh manis atau ikan asin untukku
Di Magelang ketika kita singgah mendadak aku ingat kisah Mas Karebet
Benarkah ia keindahan dari hulu ke hilir
Berakit dan dijegal para bajul, bukan empat puluh buaya
Barangkali semacam sanepo
Juga kala ia diangkat anak oleh Nyai Tingkir
Lalu ngawula ke Demak, dikawal empat puluh bajul
Engkaukah Matahari, anak sang pangeran
Pandai bercerita tentang perang Mataram hingga Xluxluxan
Engkau menikah dengan sang Joko Tingkir, dan menjadi ibu suri Pajang
Akankah berlalu di kisah Matahari kita
Kala musim penghujan, dan kau berkata mengapa Matahari tak bersinar
Lihatlah langit mendung itu, katamu sambil menutup tirai waktu.
Semarang, 20 November 2022
PUISI UNTUKMU
Inilah puisi untukmu
Aku tulis di musim penghujan November
Saat kau tutup tirai waktu
Dan televisi yang kau mutekan
Tak seperti waktu itu
Kau besarkan volume televisi
Untuk berkisah tentang xluxluxan
Di setiap jazirah, katamu, terjadi pembunuhan cinta
Bukan atas nama cinta
Tapi seperti kisah di televisi
Sang bintang membunuh cintanya
Demi sepotong lupa
Dan luka…
Semarang 19 November 2022
PUISI DARIMU
Puisi darimu aku terima
Kala musim berganti
Daun-daun gugur
Dan sambal balado yang telah basi
Bukankah telah kita pesan sop baso dan mendoan
Puisimu menutup pintu ruang
Di mana sejarah mesti dicatat
Bila sejarah mencatat darah
Sejak nenek moyang yang bukan manusia Jawa
Barangkali dari India, Mongol atau daratan China
Jadi seperti apa kamu
Puisimu tak menjawab silsilah
Barangkali Ken Arok manusia Jawa
Ternyata juga bukan
Manusia Jawa serupa lukisan Djoko Pekik itu
Hitam, monkeys dan bau terasi.
Barangkali aku salah satu keturunan sambal terasi
Dan kamu, keturunan Kubulai Khan
Kau pun menutup puisimu di jas waktu: bukan jasmerah.
Semarang 19 November 2022