BARISAN.CO – Hampir satu tahun Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, namun kondisinya tak kunjung membaik. Kini kasus aktif Covid-19 di Indonesia tertinggi di Asia sebanyak 172.576, melampaui India.
Berbagai cara sudah dilakukan, dan vaksinasi menjadi jawaban terakhir menyelesaikan pandemi di Indonesia. Karena memang hanya vaksin yang bisa menghindarkan kita dari berbagai penyakit menular.
Pemerintah sendiri telah mengembangkan vaksin merah putih. Hanya saja sampai saat ini riset yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) itu belum juga rampung.
Karena kasus Covid yang kian parah, pemerintah memutuskan mengimpor vaksin. Apalagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengatakan dalam waktu tiga tahun ke depan, dunia akan membutuhkan 16 miliar vaksin. Sementara itu total produksi vaksin dunia hanya 5-6 miliar. WHO khawatir vaksin hanya akan dimiliki oleh-oleh negara maju.
Dalam mendapatkan vaksin, pemerintah Indonesia sangat agresif. Dilakukan penjajakan ke berbagai industri farmasi di berbagai negara. Dimulai dengan kontak WHO, bekerjasama dengan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), dan Bill and Melinda Gates Foundation.
Bagaimanapun caranya, asal Indonesia mendapat vaksin dalam jumlah banyak dengan harga terjangkau.
Usaha pemerintah itu membuahkan hasil. Beberapa industri farmasi seperti Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna menawarkan vaksin yang terbuktif efektif dengan harga relatif murah. Tapi Indonesia melabuhkan hatinya kepada Sinovac, vaksin buatan perusahaan farmasi asal Tiongkok.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjelaskan alasannya.
Sinovac merupakan perusahaan pertama yang selesai uji klinis fase 1 vaksin SARS, berpengalaman produksi vaksin H1N1, memiliki WHO Pre-Qualification untuk fasilitas produksi dan produknya, serta paling maju dan tercepat dalam mengembangkan vaksin Covid-19.
“Kami melihat apa yang dilakukan China sangat terdepan, karena mereka terkena duluan,” katanya.
Efektivitas Sinovac
Pemerintah kelihatan begitu yakin dengan Sinovac mampu mengatasi pandemi. Sebab berdasarkan hasil uji klinis yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), vaksin ini memiliki efikasi 65,3 persen terhadap Covid-19.
Efikasi atau kemanjuran merupakan kemampuan suatu vaksin dalam mencegah penyakit dalam keadaan ideal dan terkontrol. Caranya dengan membandingkan kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak divaksin (placebo).
Salah satu pengurus Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), dr. Suhartono, SH., MH., mengatakan efikiasi menjadi salah satu standar vaksin. “Sesuai kaidah EBM (Evidance Based Medicine), standar vaksin tiga yaitu safety, efficacy, dan imunogenisitas,” ungkapnya.
Meski efficacy atau efikasi Sinovac mencapai 65 persen, Suhartono tidak yakin Sinovac efektif terhadap kasus Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan analisisnya jika efikasi sinovac 65 persen maka kemungkinan 35 persen dari populasi penduduk Indonesia akan gagal menerima manfaat vaksin.
Tujuan program vaksinasi adalah tercapainya herd immunity atau kekebalan komunitas. Dari perhitungan variabel angka reproduksi Covid-19 dan jumlah populasi, herd immunity yang harus dicapai di Indonesia sebesar 70 persen.
“70 persen populasi Indonesia adalah 173 juta penduduk. Jika efikasi hanya 65 persen, ada 35 persen atau 59 juta penduduk Indonesia yang gagal menerima manfaat meskipun sudah divaksin,” papar Suhartono.
Keraguan terhadap efektivitas Sinovac juga pernah muncul dari Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Profesor Nidom Foundation (PNF) Prof. dr. Chairul Anwar Nidom.