BARISAN.CO – Bulan Ramadhan disebut juga bulan ibadah (Syahru al-‘Ibadah) karena Ramadhan menjadi ladang untuk beribadah dan amal kebaikan melebihi bulan lainnya. Kaum muslimin saling berlomba- lomba melakukan ibadah dan amal kebaikan karena tidak ingin melewati Ramadhan, sebaik-baik bulan, tanpa memperoleh keistimewaan dan keutamaannya.
Di antara keistimewaan dan keutamaan Ramadhan yang tidak didapati di bulan-bulan lainnya adalah ibadah shalat tarawih yang mana kaum muslimin berkumpul di masjid maupun mushalla, melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat. Maka dari sudut bahasa, shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya. Adapun menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan.
Pada masa Nabi saw tidak dikenal istilah tarawih. Dalam hadis- hadis pun, beliau tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih, yang ada hanyalah istilah qiyam Ramadhan, istilah shalat sunnah pada malam Ramadhan yang sekarang lebih dikenal shalat Tarawih.
Term tarawih tampaknya muncul dari penuturan Aisyah RA (w. 57 H) istri Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi, Aisyah RA berkata: “Nabi SAW shalat malam 4 rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.
Shalat tarawih yang umumnya dilakukan secara berjamaah dan memang begitulah sunnahnya, pada masa Nabi SAW tidak dilaksanakan –shalat tarawih berjamaah– satu bulan penuh, namun hanya dilaksanakan dua atau tiga malam saja. Hal ini berdasarkan penuturan Aisyah RA (w. 57 H) bahwa Nabi SAW shalat tarawih di masjid pada tengah malam bulan Ramadhan dan beberapa sahabat berma’mum kepada beliau.
Malam berikutnya (malam ke-2), para shahabat yang mengikuti shalat tarawih semakin banyak dan Nabi SAW tetap melaksankannya dan menjadi imam mereka. Kemudian pada malam ke tiga (dalam riwayat lain malam ke empat), Nabi SAW tidak keluar ke masjid, padahal para shahabat telah berkumpul dan menunggu beliau.
Keesokan harinya Nabi SAW pun menjelaskan perihal keudzurannya dengan sabda: “aku telah mengetahui apa yang telah kalian perbuat (berkumpul semalam), maka tidaklah menghalangiku keluar kepada kalian (ke masjid) kecuali ketakutanku akan diwajibkannya (shalat tarawih) kepada kalian”.
Sejak saat itu, sampai Nabi SAW wafat bahkan sampai pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA (w. 13 H) dan awal masa Khalifah Umar bin al-Khattab RA (w. 23 H), tidak ada yang melakukan shalat tarawih berjamaah di masjid10, shalat tarawih dilaksanakan di rumah secara sendiri-sendiri11. Barulah pada masa Khalifah Umar RA, para kaum muslimin dikumpulkan menjadi satu dalam shalat tarawih pada satu imam yaitu Ubay bin Ka’ab RA (w. 19 H).12