Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Tarawih Sebagai Sarana Mencapai Derajat Takwa

Redaksi
×

Tarawih Sebagai Sarana Mencapai Derajat Takwa

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Bulan  Ramadhan  disebut  juga bulan  ibadah  (Syahru al-‘Ibadah) karena Ramadhan menjadi  ladang  untuk  beribadah  dan  amal kebaikan  melebihi  bulan  lainnya.  Kaum  muslimin  saling  berlomba- lomba  melakukan  ibadah  dan  amal  kebaikan  karena  tidak  ingin melewati  Ramadhan,  sebaik-baik  bulan,  tanpa  memperoleh keistimewaan dan keutamaannya.

Di  antara  keistimewaan  dan  keutamaan  Ramadhan  yang  tidak didapati  di  bulan-bulan  lainnya  adalah  ibadah  shalat  tarawih  yang mana  kaum  muslimin  berkumpul  di  masjid  maupun mushalla, melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.

Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat. Maka dari sudut  bahasa,  shalat  tarawih  adalah  shalat  yang  banyak  istirahatnya. Adapun  menurut  istilah  dalam  agama  Islam, shalat  tarawih  adalah shalat  sunnah  malam  hari  yang  dilakukan  khusus  pada  bulan Ramadhan.

Pada  masa  Nabi saw tidak  dikenal  istilah  tarawih. Dalam  hadis- hadis pun, beliau tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih, yang ada  hanyalah  istilah qiyam  Ramadhan,  istilah  shalat  sunnah  pada malam Ramadhan yang sekarang lebih dikenal shalat Tarawih.

Term tarawih tampaknya muncul dari penuturan Aisyah RA (w. 57 H) istri Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi, Aisyah  RA  berkata: “Nabi SAW shalat  malam  4  rakaat,  kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.

Shalat tarawih yang umumnya dilakukan secara berjamaah dan memang  begitulah  sunnahnya, pada  masa  Nabi SAW tidak dilaksanakan –shalat  tarawih  berjamaah– satu  bulan  penuh,  namun hanya  dilaksanakan  dua  atau  tiga  malam  saja.  Hal  ini  berdasarkan penuturan  Aisyah  RA  (w.  57 H)  bahwa  Nabi SAW shalat  tarawih  di masjid  pada  tengah  malam  bulan  Ramadhan  dan beberapa  sahabat berma’mum kepada beliau.

Malam berikutnya (malam ke-2), para shahabat yang mengikuti shalat tarawih semakin banyak dan Nabi SAW tetap melaksankannya dan  menjadi  imam  mereka.  Kemudian  pada  malam  ke  tiga  (dalam riwayat  lain  malam  ke  empat),  Nabi SAW tidak  keluar  ke  masjid, padahal  para  shahabat  telah  berkumpul  dan  menunggu  beliau.

Keesokan  harinya  Nabi SAW pun  menjelaskan  perihal  keudzurannya dengan  sabda: “aku  telah  mengetahui  apa  yang  telah  kalian  perbuat (berkumpul  semalam),  maka  tidaklah  menghalangiku  keluar  kepada kalian (ke  masjid) kecuali  ketakutanku akan  diwajibkannya (shalat tarawih) kepada kalian”.

Sejak saat itu, sampai Nabi SAW wafat bahkan sampai pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA (w. 13 H) dan awal masa Khalifah Umar  bin  al-Khattab  RA  (w.  23  H),  tidak  ada  yang  melakukan  shalat tarawih berjamaah di masjid10, shalat tarawih dilaksanakan di rumah secara  sendiri-sendiri11. Barulah  pada  masa  Khalifah  Umar  RA,  para kaum muslimin dikumpulkan menjadi satu dalam shalat tarawih pada satu imam yaitu Ubay bin Ka’ab RA (w. 19 H).12