Mengapa pasca reformasi dunia teater umum berguguran? Teater Kampus dalam penampilannya, mampu menyuguhkan lakon atau naskah karya sendiri dari pemikiran dunia intelektual
BARISAN.CO – Baru-baru ini Aliansi Teater Kampus Jawa Tengah mengadakan deklarasi. Pertemuan untuk mencapai kesepakatan itu berlangsung di Aula Dewan Kesenian Kota Tegal. Sebenarnya bagaimanakah kehidupan teater kampus selama ini.
Pada dekade sebelum reformasi, dunia teater di Indonesia begitu marak. Setiap kota mempunyai banyak kelompok teater. Di Tegal, sekurangnya ada lima grup Teater. Teater RSPD, Teater Puber, Teater Hisbuma, Teater Sedar, Teater Q. Mereka rutin berlatih, dan mengadakan pementasan secara berkala. Kala itu belum ada Dewan Kesenian dan Gedung Kesenian. Sehingga pertunjukan mereka diadakan secara mandiri, nirlaba atau profesional.
Di ibukota Jawa Tengah, Semarang, bahkan lebih banyak. Sekurangnya ada tiga puluhan lebih grup teater. Sehingga untuk itu perlu dibentuk satu kelembagaan untuk mewadahi. Lembaga itu bernama Koordinator Grup-Grup Teater Semarang.
Entah bagaimana soalnya, setelah reformasi, puluhan grup teater itu tidak ada lagi kabarnya. Hanya segelintir teater yang masih aktif, yaitu Teater Lingkar. Pun di Tegal, hanya Teater RSPD yang masih eksius.
Di samping grup-grup teater umum itu, kehadiran teater kampus di Semarang mempunyai elan tersendiri. Mereka bisa melewati ujian reformasi dan terus aktif hingga kini. Hampir semua Perguruan Tinggi di Semarang memiliki kelompok teater. Bahkan PT swasta seperti IAIN mempunyai grup teater di setiap fakultas.
Apakah dunia teater kampus sama napasnya dengan teater umum. Inilah pertanyaannya.
Kehidupan teater kampus memiliki jaringan sesama yang memadai. Antara lain setiap tahun mereka mengadakan pertemuan. Yaitu Temu Teater Mahasiswa Nasional (Temu Teman) dengan penyelenggaraan di kampus-kampus secara bergilir di kota-kota se Nusantara. Pun pemerintah, setiap tahun mengadakan Festival Teater Nasional.
Di beberapa PT, seperti Teater Gema UPGRIS (Semarang) secara rutin mengadakan festival setiap tahun. Yakni Festival Drama Realis se-Jawa Tengah maupun Nasional.
Saya yang kerap kedapuk sebagai juri atau tutor selalu berpikir, mestinya dunia teater kampus memiliki ciri berbeda dengan teater umum. Terutama dalam konteks dan bentuk penyampaiannya. Sebab bagi saya, Perguruan Tinggi adalah dunia tempa mahasiswa dalam elan intelektual.
Saya membayangkan, teater mahasiswa dalam penampilannya, mampu menyuguhkan lakon atau naskah karya sendiri dari pemikiran dunia intelektual. Pun mestinya, teater kampus tidak terlalu ngugemi persoalan artistik atau eksplorasi dalam gaya pemanggungannya.
Dari itu, saya pun membayangkan, andai ada dari mereka yang menempuh karier sebagai penulis skenario, tentulah akan memberi kontribusi berarti bagi kehidupan perfilman di Indonesia.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa pasca reformasi dunia teater umum berguguran. Apakah mereka kemudian mendirikan panggung politik, dan mereka berdiri sebagai aktor-aktornya. Lalu mengapa kehidupan teater kampus terus berjaya, apakah mereka mau melakukan protes sosial politik dalam pertunjukannya.
Tampaknya kita masih menunggu jawaban pasti. [Luk]