Meniru sedang dan terus jadi gejala sosial di Indonesia. Orang ingin meniru apa yang mereka lihat bagus. Sialnya, ‘proses meniru’ itu jarang diimbangi pula dengan ‘proses berhitung’. Padahal boleh jadi, di kehidupan sehari-hari, para peniru adalah orang malang yang diharuskan membanting belulangnya sekeras mungkin untuk sekadar bertahan hidup.
Tetapi, rasa keterikatan yang kuat pada tontonan atau idola tertentu, pada banyak kasus, membuat orang kemudian rela mengambil jarak bahkan memisahkan diri dari lingkungannya sendiri.
Mereka tak segan mengupayakan apapun, membeli barang itu-itu, mengubah sikap anu-anu, agar semirip mungkin dengan idolanya. Kehidupan mereka tersedot ke dalam arus showbiz (baca: hedonisme) tanpa pernah mereka sadari. Dan mereka tidak mendapatkan suatu apa kecuali kepalsuan.
“Keponakanku berusaha meniru. Ia sejatinya sedang menanam kepalsuan dalam dirinya. Kepalsuan itu tetaplah kepalsuan selama ia tidak mengalihkan pandangan kepada kehidupan normal di sekitarnya. Bocahku kui durung isa sawang-sinawang.” Kata Muhammad Mantep, lagi-lagi membicarakan keponakannya.
Barangkali itu kata kuncinya, sawang sinawang, yang bisa menyelamatkan banyak orang dari gejala yang demikian. Ini adalah peribahasa yang hampir dikenal semua manusia Jawa.
Kalimat lengkapnya berbunyi: urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang. “Hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang, jadi jangan hanya memandang dari apa yang terlihat.” []