TIDAK bisa tidak, saya benar-benar tertegun menyaksikan dua ulama favorit, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim, bertemu di Catatan Najwa. Najwa Shihab—tuan rumah Catatan Najwa, yang tayang menjelang ramadan tahun ini—mengungkap pengeboman di Makasar dan penyerangan Mabes Polri itu sungguh ironis. Betapa tidak, sang pelaku berwasiat bahwa jihad (dalam hal ini: perang) merupakan ibadah tertinggi setelah tauhid dan salat.
Prof. Quraish menandaskan bahwa yang tertinggi adalah syahadat, la ilaha illa Allah. Bahwa apa pun kegiatan, harus dikaitkan dan sejalan dengan la ilaha illa Allah. Nah, berkaca dari itu, sesungguhnya jihad adalah menggunakan seluruh daya untuk mencapai sesuatu yang luhur, bukan semata perang.
“Karenanya, janganlah tunduk pada [selera hawa nafsu] orang-orang yang mengingkari kebenaran, tetapi berjuanglah sungguh-sungguh melawan mereka, dengan [kitab Ilahi] ini.” (Al-Furqan: 52).
Ayat tersebut, bagi Prof. Quraish, tidak lantas dimaknai perang, tetapi berjihad dengan nilai-nilai Al-Quran. Bahwa karakter Islam, versi kitab suci itu, adalah nirkekerasan. Bahwa sebuah kebenaran tidak bisa disiarkan dengan kekerasan.
Gus Baha mengamini ungkapan Prof. Quraish, bahwa memang sudah semestinya kita menampilkan logika, sikap, tutur kata, dan perilaku yang baik. Dengan begitu orang lain tertarik pada Islam.
Gus Baha mencontohkan, dulu saat Nabi saw. berdakwah, itu dengan berlogika yang benar. “Tanyakan Muhammad, ‘Bagaimana sesembahan yang kamu sembah selain Allah, tunjukkan kepadaku apa yang mereka buat dari bumi. Apakah mereka punya andil dalam penciptaan langit?’.” (Al-Ahqaf: 4).
Nabi Saw menantang nalar logis kaum pagan, bahwa untuk jadi Tuhan itu seharusnya yang punya prestasi: mencipta langit, bumi, dan seisinya. Bukan Tuhan yang tanpa prestasi. Dan, dari retorika itu, terbuka akal sehat kaum pagan, betapa ironi menyembah seonggok batu yang tak mampu berbuat apa pun. Sehingga, berjihad dengan Al-Quran itu, bagi Gus Baha, tak lain adalah bersungguh-sungguh menggunakan nalar logis. Berjihad dengan akal sehat, bukan kekerasan atau perang.
Gus Baha menambahkan, dulu ada seorang pemuda mengajukan diri ingin turut serta jihad bersama Nabi saw. Nabi Muhammad bertanya, “apakah kedua orangtuamu masih hidup?”
“Masih hidup, wahai Nabi.”
“Kembalilah dengan berjihad terhadap kedua orangtuamu!”
Dari riwayat ini kian jelas bahwa makna jihad tidaklah sesempit perang di medan laga. Berjihad, sekali lagi, bersungguh-sungguh. Dalam konteks cerita tersebut, sudah jelas bahwa bentuk jihad seorang anak adalah merawat dan berbakti kepada orangtua. “Jadi kata jihad, dari dulu birrul walidain juga jihad, memerangi hawa nafsu juga jihad. Apa saja yang baik itu dapat dikatakan sebagai jihad. Sehingga dengan seperti itu akan mengembalikan orang sesuai fitrahnya. Kalau suami ya membahagiakan istri, orangtua membahagiakan anak, anak membahagiakan orang tua.” terang Gus Baha.
Prof. Quraish menyambung penjelasan Gus Baha, bahwa kata “anfus” dulu memang diterjemahkan “jiwa”, sehingga lahir ungkapan bom bunuh diri sebagai jihad. Namun, kini sudah tak relevan, dan akan tepat sekira dimaknai sebagai totalitas. “Dengan hartamu, dengan pikiranmu, dengan tenagamu, dengan waktumu. Maka, orang yang melakukan bunuh diri, untuk mematikan orang lain, itu bertentangan dengan ajaran agama. Karena dulu, adanya pembunuhan, itu tertuju kepada orang-orang yang memang wajar dibunuh, yang melanggar ketentuan-ketentuan. Lah, sekarang ini apa yang Gereja langgar? Tidak ada.”
Gus Baha, sang manusia kitab abad ini, menutup obrolan bahwa kita tidak akan bisa menghindar dari perbedaan pendapat. Maka, kuncinya mesti saling legawa, saling lapang dada. Kita harus banyak mendengar, dan menghilangkan kebencian. Pesan Rasul Saw, yang dikutip Gus Baha, “Kamu bangun tidur, kamu bersore-sore, lakukanlah, tapi yang penting hati kamu tidak punya kebencian pada seseorang!”