Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Tidak Sendiri

Redaksi
×

Tidak Sendiri

Sebarkan artikel ini

Padahal sesungguhnya di sana itu, termasuk bumi kita ini yang tergabung dalam tata surya, dalam lingkungan bintang-bintang terdekat, dalam galaksi-galaksi, semua bergerak. Semua merambat. Semua mengembara. Cahaya mengembara tak terhingga jauhnya.

Jadi betulkah sunyi? Benarkah sendirian? Tidak! Ah, tidak benar sekiranya sendirian. Salah besar jika dini hari itu lengang. Apalagi di balik semua yang ada ini, ada dzat yang Mahaawas. Maha pengatur. Pengendali atas perambatan cahaya. Yang mengelola peredaran. Yang mengerti persis batas tepi semesta.

Sang dzat itulah Tuhan. Syukur saya masih belum bisa ateis. Saya juga bukan deisme. Sehingga lamat-lamat, saya sadari, Ia mengawasi saya pada detik itu. Tak hanya itu, Ia pula yang menggiring saya untuk duduk dan menulis di beranda rumah mungil.

Lebih dari segalanya, Ia yang memercikkan pikiran dan perasaan ke dalam diri saya. Seakan Ia tak rela, saya melangkah sendiri. Ia tak tega meninggalkan saya dalam galau yang berketerusan. Ia terlampau sayang, sehingga sepanjang risau saat itu mesti berujung.

Begitu. Bilamana hidup sendiri, sekira Ia menggelayuti pundak saya? Dan, Ia memang sengaja menghadirkan rasa itu. Ia hadir di balik semua yang ada. Di hadapan saya saat itu, mulai tampak jelas Ia tersenyum di balik pot-pot bunga. Di balik semut-semut mungil yang bergotong royong mengangkuti sisa camilan anak-anak

Ia menyapa saya di balik sisa malam itu. Di balik diamnya batu. Di balik sayup-sayup kendaraan dari kejauhan. Di balik imajinasi soal semesta  raya yang sekiranya tak terhingga, tak bertepi, tapi terbatas. Termasuk di balik keinginan saya untuk tak lagi mengagungkan baju.

Akhirnya, memang, saya tidak sendiri. Allah selalu menyertai.