PP itu menyebut, bahwa Indonesia perlu mencapai target memenuhi pangsa EBT pada tahun 2025 sebanyak minimal 23 persen dari bauran energi nasional. Seterusnya menjadi minimal 31 persen pada tahun 2050.
Sayangnya, Indonesia tak bisa melepas pemenuhan kebutuhan energinya dari bahan bakar fosil. Seperti tertulis dalam working papers Kementerian PPN/Bappenas, justru sejak tahun 2013 Indonesia tak pernah mampu merebut pangsa EBT sesuai perencanaan.
Realisasi pangsa EBT selalu lebih kecil dari target. Pada tahun 2020 pangsa EBT pernah mencapai titik tertingginya yakni sebesar 11,2 persen. Namun meski begitu, persentase tersebut lebih kecil dari target tahun 2020 yakni 16 persen.
Grafik pangsa EBT dalam bauran energi Indonesia
Sumber data: Bappenas.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau dilihat kecenderungannya, grafik menunjukkan bahwa kesenjangan antara realisasi dengan target tampak semakin melebar mulai sejak 2015.
Kurang memuaskannya realisasi EBT sedikit banyak memengaruhi bagaimana identitas Indonesia dalam kancah global. Menurut Energy Transition Index tahun 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat 70 dari total 115 negara yang dinilai performa sistem energinya.
Energy Transition Index ini memberikan tolok ukur yang penting kepada negara-negara tentang kesiapannya bertransisi menuju energi yang aman, berkelanjutan, terjangkau, dan andal. Dengan fakta peringkat Indonesia yang tidak terlalu baik dalam indeks ini, tak salah menyebut Indonesia makin tertinggal.
Alih-alih memenuhi niat luhur EBT 23 persen pada tahun 2025, bisa jadi Indonesia keburu habis waktu sebelum agenda itu pernah tercapai. Untuk itulah mengapa kita perlu terus-menerus memeriksa komitmen dalam upaya membuat bumi tua ini makin baik ditinggali. []
Ananta Damarjati, Redaktur Barisanco