Scroll untuk baca artikel
Opini

Timbul Tenggelam Komitmen Mengatasi Perubahan Iklim

Redaksi
×

Timbul Tenggelam Komitmen Mengatasi Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini
Oleh: Ananta Damarjati

Komitmen Indonesia mengenai isu lingkungan barangkali memanglah fenomena yang serba timbul-tenggelam. Pernah suatu ketika isu ini seperti dilupakan. Akan tetapi pernah pula Indonesia mewarnai komitmennya dengan tinta emas, seperti ketika ikut meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004.

Protokol Kyoto, seturut namanya, dinegosiasikan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1997. Ini merupakan perjanjian internasional yang penting bagi negara-negara dunia sebagai upaya menjaga laju penambahan konsentrasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dan, Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto pada 28 Juli 2004, dengan disahkannya Undang-Undang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Protokol Kyoto menetapkan bahwa negara-negara industri, yang disebut Annex I, wajib menurunkan emisi GRK sebesar 5,2 persen dari level yang ada pada 1990. GRK di sini termasuk—tapi tidak terbatas pada—karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC.

Keikutsertaan Indonesia pada Protokol Kyoto itu menjadi menarik sekurang-kurangnya atas dua alasan. Pertama, Indonesia tidak atau belum diwajibkan ikut dalam perjanjian itu lantaran bukan termasuk negara Annex I. Secara definisi, negara Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbang GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an.

Kedua, akan lebih masuk akal jika misalnya pada saat itu Indonesia berfokus saja pada isu-isu kemiskinan daripada bertaruh pada isu yang tampak mustahil dimenangkan—seperti isu lingkungan. Apalagi kalau kita lihat data di tahun-tahun itu, bahkan untuk mengatasi persoalan penebangan kayu haram (illegal logging) saja pemerintah sudah sangat kewalahan.

Oleh sebab itulah, kita bisa setidak-tidaknya mengatakan bahwa Indonesia telah memberi kepedulian pada isu global lewat Protokol Kyoto.

Memasuki masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menegaskan identitas internasionalnya sebagai negara yang peduli masalah lingkungan. Pada forum G20 Summit di Pittsburgh, SBY mengumumkan, bahwa Indonesia berniat mengurangi emisi 26 persen pada tahun 2020 dengan cara-cara luar biasa dan bukan business as usual.

Niat itu kemudian diterjemahkan ke beragam kebijakan. Pada gilirannya, tersebutlah Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai strategi yang dinilai paling signifikan menurunkan emisi. EBT dinilai penting diakselerasi untuk menjadi pengganti ketergantungan terhadap penggunaan sumber energi fosil. Hal ini lantas ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional.

PP itu menyebut, bahwa Indonesia perlu mencapai target memenuhi pangsa EBT pada tahun 2025 sebanyak minimal 23 persen dari bauran energi nasional. Seterusnya menjadi minimal 31 persen pada tahun 2050.

Sayangnya, Indonesia tak bisa melepas pemenuhan kebutuhan energinya dari bahan bakar fosil. Seperti tertulis dalam working papers Kementerian PPN/Bappenas, justru sejak tahun 2013 Indonesia tak pernah mampu merebut pangsa EBT sesuai perencanaan.

Realisasi pangsa EBT selalu lebih kecil dari target. Pada tahun 2020 pangsa EBT pernah mencapai titik tertingginya yakni sebesar 11,2 persen. Namun meski begitu, persentase tersebut lebih kecil dari target tahun 2020 yakni 16 persen.

Grafik pangsa EBT dalam bauran energi Indonesia

Sumber data: Bappenas.

Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau dilihat kecenderungannya, grafik menunjukkan bahwa kesenjangan antara realisasi dengan target tampak semakin melebar mulai sejak 2015.

Kurang memuaskannya realisasi EBT sedikit banyak memengaruhi bagaimana identitas Indonesia dalam kancah global. Menurut Energy Transition Index tahun 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat 70 dari total 115 negara yang dinilai performa sistem energinya.