Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Ekonom INDEF: Titik Kritis Ekonomi Indonesia Ada Pada Neraca Perdagangan

Redaksi
×

Ekonom INDEF: Titik Kritis Ekonomi Indonesia Ada Pada Neraca Perdagangan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Titik kritis ekonomi Indonesia saat ini ada pada neraca perdagangan yang defisit. Terjadi lebih besar impor dari ekspor sehingga minus dalam neraca perdagangan nasional. Seharusnya kondisi ini bisa diatasi dengan modal masuk dan tertolong oleh investor luar negeri yang menanam modal di dalam negeri. Jika neraca tetap seperti itu, maka Rupiah selalu tertekan dan sulit menjadi kuat.

Hal ini disampaikan Didik J Rachbini dalam Online Conference STIA LAN – Presidensi G20 dengan tema Transformasi Administrasi dan Kebijakan Publik di Era Post Truth dalam Mewujudkan Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh, Rabu (27/7/2022).

Menurut Didik J Rachbini krisis yang terjadi sebenarnya juga menciptakan peluang. Diantaranya dari apa yang terjadi dengan PHK massal pekerja di mall-mall, tetapi menjadi peluang baru dari 3-4 juta pengemudi OJOL.

“Juga ada miliaran transaksi di bisnis e-commerce yang menjadi peluang baru. Transaksi ekonomi saat ini dilakukan via e-commerce cukup dengan gunakan HP,” imbuhnya.

Didik menambahkan dalam keadaan ekonomi normal pun selalu ada krisis mikro setiap hari, minggu dan seterusnya. Yang terjadi adalah selalu terjadi disrupsi ketika kemajuan penemuan teknologi baru, maka teknologi lama hancur (creative destruction). Produk pager digantikan oleh HP android.

“Krisis akan selalu terjadi Ketika ditemukan teknologi baru yang mendisrupsi produk atau pola-pola transaksi sebelumnya. Krisis covid menyebabkan banyak kegiatan ekonomi, sektor, mall dan lain-lain hancur,” jelas Rektor Universitas Paramadina ini.

Dengan inspirasi teori ini, Didik berpandangan perlu dengan cepat mengembangkan teknologi baru untuk menggantikan yang macet karena covid. Teknologi digital kini berkembang merambah dunia dan itu yang harus terus dikembangkan sebagai sistem ekonomi pada masa new normal.

“Tuhan memberi berkah kepada negara bangsa Indonesia dengan kelimpahan luar biasa sumber daya alam batubara, nikel, sawit dan lain-lain. Hal itu semua harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya,” ujar Didik.

Ekonom Senior INDEF ini melanjutkan, namun tantangan baru akan segera muncul dari luar negeri dengan green economy yang tidak lagi memperbolehkan penggunaan energi batubara dalam industri-industri dan produk turunannya. Dunia akan membanned semua produk yang diproduksi dengan energi batubara.

“Hal itu juga peluang bagi kita dalam wawasan green economy yang harus cepat-cepat disiasati,” sambungnya.

Rekomendasi INDEF

Studi INDEF dan BKPM telah dilakukan untuk mengekplorasi semua kemungkinan resource base industry agar bisa menjadi peluang yang bisa mengkompensasi kerugian-kerugian sebelumnya.

“Jadi Indonesia tidak seharusnya bernasib sama dengan Srilanka. Indonesia punya banyak sekali sumber daya dan tidak seharusnya krisis. Tinggal lagi bagaimana mengelola potensi SDA yang banyak tersebut,” terang Didik.

Rekomendasi INDEF atas hal itu telah disampaikan kepada pihak BKPM untuk selayaknya dilaksanakan. BKPM juga tengah melakukan riset bagaimana agar investasi dapat ditingkatkan ke dalam negeri.

Didik menambahkan ekspor Indonesia mutlak harus dikembangkan. Pada 1980-an yang menerima lebih duapertiga ekspor Indonesia hanya Jepang, Eropa dan USA.

“Namun sekarang peluang ekpsor ke mancanegara sudah terbuka banyak di samping ke China dan ASEAN. North Africa, India, Latin Amerika, Eropa Timur dan lain-lain. Terbuka peluang di mana-mana,” sambungnya

Didik mengatakan green economy terutama lahan gambut Indonesia yang tersedia banyak rupanya banyak menyimpan karbon yang begitu besar. Dan itu bisa dijual (carbon trading). Harus tersedia data lahan gambut, luasan, data emisi dan lain-lain yang dapat disampaikan kepada pembeli karbon.