APA yang paling Anda benci di rumah? Pasti jawabannya beragam karena setiap orang memang memiliki komorbit masalah sendiri-sendiri.
Tetapi kalau saya, pada masanya pernah jengkel dengan penagih iuran listrik. Bagi saya kalau orang berseragam itu datang seperti teror. Menganggu ketenangan batin.
Memang dia jarang bicara. Kalaupun bicara sangat irit, “Tunggakan Bapak sudah telat 20 hari!”
Tapi, kadang cuma datang dalam keheningan, seperti menyelinap dan hanya meninggalkan jejak selembar kertas berukuran sekira 14 x 24 cm lewat lubang sempit pintu bagian bawah.
Kalau telat beberapa hari yang datang kertas warna putih. Judulnya serem: “Pemberitahuan Pelaksanaan Pemutusan Sementara Sambungan Listrik”.
Kalau sudah telat lebih dari 20 hari kembali petugas listrik datang kadang pakai seragam kadang tidak. Kalau sudah telat cukup lama biasanya dia ‘kangen’ untuk bertemu penghuni rumah.
Sosok berseragam mengetuk pintu mengucap salam. Dia mengingatkan soal tunggakan listrik sambil menyodorkan kertas ukuran sama dan judul ancaman yang sama tetapi warnanya berbeda, merah.
Kalau dia datang saya selalu berkilah, “Segera saya bayar. Payah gajian belum cair.” Atau alasan lainnya, “Uang proyek belum dibayar.”
“Tapi jangan sampai telat satu bulan Pak. Nanti kabelnya bisa diputus,” katanya dan saya merasakan bukan ancaman melainkan hanya mengingatkan.
Penagih itu dipanggil Ai. Saya tidak tahu nama panjangnya. Kalau dari logatnya seperti orang Sunda tapi bisa juga dia orang Betawi.
Di kompleks yang hanya 46 rumah itu bukan saya saja yang selalu melanggar batas pembayaran tagihan listrik yang dipatok tanggal 20. Awalnya memang saya telat membayar listrik itu sebagai bentuk pembangkangan kepada PLN cq Pemerintah. Saya juga marah karena listrik di Depok sering mati dan itu kadang pagi atau malam ketika warga tengah membutuhkan listrik.
Belakangan pembangkangan itu tak ada gunanya karena semakin membangkang kita yang kena denda. Parahnya, menunggak listrik jadi kebiasaan karena memang banyak kebutuhan prioritas.
Rumah tangga sangat tergantung pada listrik. Wajar PLN blagu dan sewenang-wenang karena masyarakat tak bisa lepas dari ketergantungan pada setrum.
Mungkin karena saya sering nunggak atau juga kasihan kepada saya, Ai yang sama istri saya dipanggil Erman (alasannya karena mirip teman kuliahnya dulu) menyarankan agar listrik pasca bayar diganti dengan token.
Ai bukan tipe penagih yang tegaan. Walaupun surat selembar yang diantarnya sangat menyeramkan. Ai justru beberapa kali malah nalangin iuran listrik. Alasannya biar saya nggak bayar double dua bulan. Setelah itu nanti saya tinggal transfer ke rekening Ai. Sangat menolong.
Ya, Ai beberapa kali menyelamatkan saya dari keharusan membayar double. Pasti memberatkan karena iuran untuk satu bulan saja sering telat.
“Gratis kok, hanya bayar administrasi Rp10.000,” katanya.
Mendengar sarannya saya langsung tertarik. Dan hanya berselang dua pekan token pun sudah dipasang.
Dengan token saya bisa mengelola setrum secara bijak. Biar hemat maka lampu yang tidak berguna sering dimatikan. Tidak lagi seenaknya siang hari lampu masih nyala. Setelah dihitung saya bisa berhemat sekira Rp50.000 per bulan.
Namun seiring waktu dan sudah hampir satu tahun ini, saya ternyata merindukan sapaan penagih iuran listrik. Rindu ketukan pintu peringatan bijaknya, “Tapi jangan sampai telat satu bulan Pak. Nanti kabelnya bisa diputus.”
Kini tidak ada lagi selembar kertas putih dan merah dengan stempel basah dan tanda tangan arogan Manager PLN Kota Depok.
Ai tak pernah mampir. Token telah memutus silaturahmi. [rif]