Barisan.co – Toyotomi Hideyoshi lahir pada masa kekacauan Jepang, saat perang antarklan dan pertumpahan darah terjadi di seluruh negeri. Ketika itu, kemampuan bela diri menjadi cara hidup par excellence. Siapa yang paling tangkas bertarung memegang pedang, maka ia punya status yang tinggi.
Tidak heran, daripada hidup melarat sebagai petani, banyak miskin jelata lebih tertarik menjadi samurai, dengan menenteng pedang di pinggul dan berharap kehidupannya lebih baik.
Saat Jepang memasuki zaman Sengoku Jidai ini (zaman perang, 1493-1573), istilah samurai memang telah menyimpang dari sejarahnya. Samurai bukan lagi sebutan bagi kaum ningrat yang bertugas menjaga anggota kekaisaran, melainkan lebih menandakan militer profesional yang dibayar.
Singkatnya, pada zaman perang, samurai tak lagi harus berdarah biru. Semua bisa jadi samurai. Kecuali Hideyoshi. Peluangnya ke sana tertutup karena fisik dan ketangkasannya tidak memadai untuk memegang senjata. Perawakannya tidak atletis, ceking, dan tingginya hanya 150 senti dengan bobot 50 kilogram.
Selain itu, Hideyoshi berwajah jelek. Kulitnya seperti apel kering, daun telinganya besar, dan matanya dalam. Dikisahkan oleh banyak sumber, orang-orang bahkan memanggil Hideyoshi ‘monyet’ sepanjang hidupnya.
Dalam buku biografinya (dituturkan oleh Kitami Masao dalam judul: The Swordless Samurai), Hideyoshi melewati masa muda yang sulit. Ia sering berganti-ganti pekerjaan dan majikan, ditolak oleh masyarakat, dan dihina. Namun, Hideyoshi memiliki semangat hidup yang jarang terlihat di dunia ini.
Suatu musim panas tahun 1554 di pinggiran Provinsi Owari, dekat Mino, Hideyoshi berdiri di pinggir jalan, menunggu seorang bangsawan yang hendak lewat. Hideyoshi berencana menawarkan dirinya sebagai abdi kepada sang bangsawan.
Adalah Oda Nobunaga, yang oleh banyak orang dijuluki Halilintar Perang, yang sedang ditunggu Hideyoshi. Hideyoshi tahu bahwa Nobunaga akan melewati jalan itu setelah membayar seorang informan yang mengetahui jadwal Oda Nobunaga.
Informasi tersebut benar. Nobunaga akhirnya lewat juga. Ia berkuda dengan rombongan dan pelahan-lahan mendekati Hideyoshi. Saat jarak dirasa sudah cukup, seketika Hideyoshi melompat ke jalan dan langsung membungkuk di hadapan Oda Nobunaga.
“Tuan Nobunaga, saya hendak mengabdi kepada Anda!” Kata Hideyoshi.
“Jadi, bocah, kau mau mengabdi kepadaku?” Nobunaga memuntahkan kalimat.
“Benar, Tuan Nobunaga, saya mau.”
“Monyet kecil ini mengira ia bisa berguna,” kata Nobunaga kepada rombongan pasukan di belakangnya.