BARISAN.CO – Pandemi Covid-19 dan kematian yang tiba-tiba. Itulah kenyataan belakangan ini. Meski, hari-hari ini mulai berkurang alunan sirine ambulance dan kabar lelayu. Namun, tetap saja, hingga kini wabah belum sirna betul.
Peringatan untuk taat prokes pun masih nyaring di mana-mana, seiring tanggapan masyarakat yang mulai dilanda kejenuhan. Ya, orang-orang mulai jenuh. Mulai anggap biasa, seperti sebelum korona mewabah. Beraktivitas di luar rumah seperti sedia kala, seolah tidak lagi terkurung dalam masa pagebluk.
Apalagi, kalau kita melirik di negeri-negeri maju sana, di mana sudah bebas ber-event ria dalam skala besar. Sebut saja, Piala Eropa dan Piala Amerika, juga Olimpiade Tokyo. Semua pasang mata melihat, dan merasakan keriuhan pentas kolosal tersebut.
Jadi, bagaimana kita tidak jenuh dengan seruhan “taat prokes”, sementara “di sana” sudah “bebas”? Bagaimana kita tidak mengomel, sementara para pemangku kebijakan seolah tidak mau tahu untuk meng-upgrade kebijakan?
Padahal, wabah virus yang mematikan ini, jelas datang atas kehendak Tuhan, bukan dari kemauan sang virus, apalagi akibat dari sebuah rekayasa segelintir manusia untuk bikin kacau dunia. Virus ini adalah utusan Tuhan, di mana umat manusia sudah sedemikian rupa mengagungkan teknologi, mengunggulkan diri bak Tuhan itu sendiri.
Virus dihadirkan untuk mengingatkan betapa kita semua ini nyaris melupakan hakikat diri. Betapa kemampuan kita itu, hakikatnya karena perkenan Tuhan. Betapa sifat dasar manusia adalah fakir. Betapa umat manusia mesti tahu diri, bahwa mereka tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Tuhan.
Sedianya, berkat pandemi ini, kita menyadari bahwa kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan itu bukan segalanya. Segenap atribut duniawi tersebut ternyata relatif, hanya sementara. Dan tetap, penentu eksistensi semesta ini, termasuk manusia, adalah Allah. Kenyataan kita kini itu berkat Allah, serta kemungkinan-kemungkinan kita nanti pun juga karena-Nya. Kita mengada sebab Dia, dan juga karena tak lepas dari penjagaan-Nya secara terus-menerus.
Ya, pandemi Covid-19 dan kematian yang tiba-tiba, sedianya menjadi pengingat, tidak soal fisik saja yang kita penuhi, tapi juga ruhani. Nutrisi fisik kita pungut dari proses budaya dan proses alam, dengan mendayagunakan akal pikiran, olah rasa, dan indra. Suatu instrumen yang lebih dahulu ditanam Allah dalam diri kita, bukan kita yang mengadakan.
Lantas kebutuhan ruhani berupa ilmu mengenal Allah, berupa nilai-nilai spiritual di balik yang ada, di balik musibah, dan berupa kesadaran menghamba kepada Allah. Maka, sungguh, betapa Allah teramat sayang kepada kita. Dia menghadirkan virus, tiada lain buat kebutuhan asupan ruhani.
Ruhani kita merana tatkala kita tidak berlaku ihsan, tidak merasa diawasi Tuhan, tidak butuh Tuhan, dan tidak bergantung kepada-Nya. Kehadiran virus sudah semestinya kita respon secara positif, Tuhan ingin menyadarkan kita, bahwa sesungguhnya ruhani juga butuh sehat.
Kesehatan ruhani adalah kembalinya manusia menuju sifat dasar: kefakiran, yakni ketergantungan kepada Tuhan. Dengan ujian pandemi, mengantar kita untuk merasa tergantung kepada Allah, membuat kita taat dan kembali kepada-Nya.
Namun, ya, di mana-mana, kita lihat dan kita rasa masyarakat mulai dilanda kejenuhan. Tampak tak kunjung merambah ke substansi diri, tetapi justru masa bodoh terhadap situasi. Mereka mangkel lantaran kehilangan mata pencaharian. Mereka menggerundel kepada Tuhan, yang malahan menambah lebar jarak mereka dengan-Nya.
Pun dengan para pemangku kekuasaan, ujian pandemi hanya ditanggapi seperti siklus biasa. Disikapi dengan mengultimatum masyarakat agar taat prokes dan wajib vaksin, tapi dengan tidak mengubah gaya hidup mereka yang menghambur-hamburkan uang pajak rakyat. Proyek tol dengan konsekuensi pengusiran warga dan pembabatan lahan hijau dan produktif. [Luk]