Puisi Umbu Landu Paranggi yang saya hapal adalah, “Apa Ada Angin di Jakarta”. Satu puisi yang pada 1970-an didendangkan Umbu sendiri dengan bergitar. Kemudian acap dinyanyikan penyair Yogya. Bahkan hingga kini kerap dinyanyikan Cak Nun Emha Ainun Nadjib bersama Kiai Kanjeng di panggung Maiyah. Inilah puisi penyair yang dikenal sebagai Si Kuda Sumba itu:
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dihembus desa melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Yang terpinggirkan di sudut-sudut kota
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Adalah seorang siswa sekolah Taman Siswa Yogya dari Sumba, yang menurut bisik-bisik: putera mahkota raja Sumba. Sang guru yang cantik saat itu adalah Ibu Lasiah Sutanto, yang kemudian menjadi menteri sosial wanita pertama di era Soeharto.
Umbu, dalam setiap Bu Lasiah mengajar, selalu tampak tengah asyik menulis sambil seperti melamun. Hingga Bu Lasiah meminta agar Umbu membacakan yang ditulisnya di depan kelas. Maka dibacakan lah oleh si putera mahkota, sajak Apa Ada Angin di Jakarta itu.
Sejak itu Umbu memutuskan memilih jalan hidupnya sebagai penyair. Seperti yang pernah diakuinya, Ibu Guru Lasiah Sutanto itulah yang mengunakan niatnya untuk menjadi penyair.
Hasil pendidikannya di Taman Siswa dan kebaikan hati gurunya yang cantik, tampaknya merasuk dalam diri Umbu. Ialah saat ia mulai menjadi redaktur sastra di koran Pelopor Yogya. Lebih sebagai redaktur, ia adalah guru bagi para penyair muda.
Antaralain ia membagi rubrik puisi dalam dua ruang. Yakni ruang Persada Studi Klub (PSK) dan ruang Sabana. Bagi penyair pemula karyanya akan masuk di PSK. Setelah melewati proses kreatif dan seleksi waktu maka puisinya baru dimuat di Sabana. Beberapa penyair yang bisa masuk di Sabana ialah Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag, Suwarno Pragolapati, demikian untuk menyebut beberapa nama.
Banyak cerita dari Emha tentang gurunya yang unik dan nature. Dari kisah percintaannya yang serupa remaja, yang cukup melewati rumahnya saja sudah cukup puas. Hingga kepenyairannya yang tidak mau terkenal. Antaralain, pernah banyak puisi Umbu mau dimuat di seluruh ruang puisi Majalah Sastra Horison, tapi Umbu menolak.
Saat itu Umbu serupa kepala suku, tutur Emha. Kemana pun dia berjalan – hobinya memang berjalan kaki di seantero Yogya – kami para penyair muda mengikuti, dengan harapan akan mampir di warung langganannya, dan Umbu memang suka menraktir.
Sampai kemudian pada tahun 1973 sang kepala suku mendadak menghilang. Mereka pun seperti kehilangan kepala suku sekaligus guru sejati. Sampai kemudian terbetik kabar Umbu menjadi redaktur sastra di koran Bali Pos.
Satu peristiwa pernah terjadi Umbu ikut tergaruk operasi malam Tamtib Polisi sebab tidak punya KTP. Besoknya para wartawan terkejut melihat Pak Umbu ada di sel bersama para tipiring. Itulah salahsatu keistimewaan Umbu yang merupakan bohemian sejati.
Di hari-hari akhirnya, Emha kerap menyambangi gurunya itu di Bali. Bahkan beberapa kali satu panggung di Maiyah Bang-Bang Wetan Bali. Juga saat si kuda Sumba sakit, Emha menjenguk guru tercintanya. Seolah berbisik, “jangan pergi lagi, Guru…”
Hingga terdengar kabar pagi itu, Umbu Landu Paranggi tutup usia.
Selamat jalan Sang Guru Sejati.***