Scroll untuk baca artikel
Blog

Luntur Pesona Budaya Jawa

Redaksi
×

Luntur Pesona Budaya Jawa

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Derap modernisasi sedikit banyak telah menggerus budaya lokal. Sebagian hampir rata dengan tanah. Sebagian lain bertahan meski sempoyongan. Satu di antara budaya lokal yang kian tergerus adalah Jawa. Banyak masyarakat Jawa yang makin terpesona budaya Barat dan meninggalkan budaya sendirinya.

Sementara itu peristiwa bertolak belakang terjadi. Banyak masyarakat Barat kesengsem terhadap budaya Timur khususnya Jawa. Mereka belajar Kebudayaan Jawa dalam bermacam bentuk seperti bahasa, tari, gamelan, wayang, dan lain-lain. Bahkan mereka belajar menjadi sinden dan dalang, satu unsur ‘perangkat’ pagelaran wayang.

Kesengsem terhadap Kebudayaan Jawa oleh sebagian kalangan orang Barat tidak hanya saat ini. Sejak dulu kebudayaan Jawa menjadi daya tarik tersendiri sehingga mendorong mereka datang untuk belajar dan meneliti.

Stamford Raffles adalah salah satu orang Byang kesengsem terhadap budaya Jawa. Minatnya yang besar terhadap Jawa mencetuskan mahakarya pustaka yang berjudul History Of Java yang diterbitkan tahun 1817.

Kesengsem Raffles terhadap Jawa bukan tiba tiba. Jauh sebelum datang ke Jawa, Ia terinspirasi oleh pandangan koleganya yang juga kesengsem budaya Jawa. Namanya John Layden, seorang dokter pemerintah Inggris yang punya minat besar terhadap budaya Timur Khususnya Jawa. Layden terpesona akan pandangan dan falsafah Jawa yang tinggi dan rumit, konon serumit falsafah Yunani. Ia juga berpandangan bahwa budaya Jawa adalah puncak budaya adiluhung.

History Of Java berisi kebudayaan Jawa dalam bermacam bentuk seperti adat istiadat, keadaan geografi, sistem perdagangan, sistem pertanian, agama, dan lain-lain. Karya Raffles ini menjadi referensi penting khazanah ilmu pengetahuan.

Lewat karya ini seorang intelektual besar abad 19 juga kesengsem dengan budaya Jawa. Dia adalah Karl Marx, salah seorang arsitek ilmu pengetahuan sosial modern. Lewat mahakaryanya, Das Capital, Marx membuat sekelumit catatan kaki tentang Jawa.

Kebudayaan Jawa memang penuh pesona, karena ia bukan semata entitas masyarakat, bahasa atau adat istiadat. Jawa adalah juga etika, estetika, filsafat dan sistem perilaku. Oleh karena kelengkapan dalam budaya Jawa, Antropolog Neils Mulder menyebut budaya Jawa sebagai Javanisme, ‘agama Jawa’, yakni pandangan hidup orang yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrimo (menerima) terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan menempatkan masyarakat di bawah alam semesta.

Dalam banyak aspek kehidupan Jawa diekspresikan dalam bentuk simbol dan ritual seperti bangunan rumah, tempat ibadah, senjata (keris), atau berbagai ritual seperti ruwatan, ritual kematian, ritual perkawina, dan lain-lain. Titik tekannya bukan pada simbol dan ritual, tapi dibalik simbol dan ritual ada makna makna filosofis yang dalam.

Cukup disayangkan jika masyarakat Jawa kian tak mengenal budayanya sendiri yang adiluhung. Andaipun mengenal dan menjalankan sejumlah tradisi, mereka tak mengenal makna makna filosofis di dalamnya. []