BARISAN.CO – Laporan Greenpeace mengungkapkan, Jakarta menjadi ibu kota negara yang dikelilingi PLTU terbanyak di dunia dalam radius 100 kilometer, dibandingkan dengan ibu kota lain.
Emisi dari PLTU meningkatkan risiko kesehatan seluruh penduduk Jabodetabek—termasuk 7,8 juta anak-anak, dan menyebabkan mereka terpapar PM2.5 yang jauh di atas standar WHO.
Di akhir tahun 2019, I Made Suprateka, VP Corporate Communication PLN yang saat itu menjabat, mengatakan hampir tidak mungkin jika PLTU menjadi penyebab polusi udara Jakarta. Menurutnya, pembangkit listrik terdekat di Jakarta berada di Muara Karang dan itupun berbahan bakar diesel.
Soal fakta bahwa Jakarta dikelilingi oleh banyak PLTU, Made tak membantah, tapi ia yakin jaraknya cukup jauh hingga tak bisa memberi dampak signifikan.
“Paling dekat PLTU Suralaya. itu paling jauh juga debunya 30 km. Jadi sangat mustahil ya. Itu katanya Jakarta dikelilingi PLTU Jakarta. Kalau dikelilingi memangnya anginnya berjemaah masuk ke Jakarta?” ucap Made saat di temui tim Barisanco di Kantor Pusat PLN Jakarta.
Di samping itu Made memastikan setiap PLTU PLN sudah dilengkapi dengan teknologi penangkal polusi seperti Ultra Super Critical (USC). Hal ini katanya bisa meminimalisir polusi yang dihasilkan.
“Setiap PLTU yang kita bangun sudah disertai dengan Ultra Super Critical. Jadi bisa menangkap debu yang menyebar. Jadi flying ash ini ikut bottom ash,” ucap Made kala itu.
Terkait teknologi USC, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan penerapan teknologi tersebut pada PLTU telah masuk dalam peta jalan (road map) penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor energi.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (10/1/2021), menyampaikan PLTU USC yang kini sedang dibangun antara lain PLTU Jawa 9 & 10, PLTU Jawa Tengah (Batang), dan PLTU Jawa 4 (Tanjung Jati B), kesemuanya berstandar negara-negara maju peserta OECD (Organization for Economic Co-operation and Development).
Sejumlah pekerja beraktivitas di proyek pembangunan PLTU Suralaya Unit X di Suralaya, Cilegon, Banten, Senin (5/8/2019). Ilustrasi: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/ama.
“(USC) Bukan sebagai (sebatas) standar, tapi (lebih dari itu) semacam road map penggunaan PLTU di Indonesia,” katanya disitir dari Antara.
Sebelumnya, Wanhar pernah menjelaskan bahwa teknologi USC termasuk Clean Coal Technology (CCT) yang dapat menurunkan emisi GRK karena memiliki efisiensi sebesar 40 persen.
“Arti dari efisiensi 40 persen itu adalah kemampuan dari PLTU USC untuk mengonversi sebanyak 40 persen dari setiap energi yang terkandung di dalam batu bara yang digunakan oleh PLTU USC menjadi energi listrik (kWh),” jelasnya.
Pada PLTU USC juga sudah dilengkapi dengan peralatan pengendalian pencemaran udara, sehingga emisi yang dihasilkan dapat memenuhi Baku Mutu Emisi.
“Beberapa negara telah menerapkan teknologi ini salah satunya adalah Jepang,” ujar Wanhar.
Wanhar juga menyampaikan pembangunan PLTU Sistem Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) harus menggunakan boiler teknologi USC. Namun tidak untuk PLTU di luar Sistem Jamali, mengingat kapasitasnya masih kelas 50-300 MW.
Bagi PLTU yang belum memasang teknologi USC, masih boleh menggunakan teknologi satu tingkat di bawah USC, yaitu Super Critical.
“Atau PLTU Mulut Tambang untuk daerah yang memiliki tambang batu bara rendah kalori,” katanya.
PLTU Mulut Tambang merupakan pembangkit listrik tenaga batu bara dengan skema Mine-to-Mouth, dengan lokasi pembangkit yang terletak paralel terhadap lokasi tambang batu bara. Pembangkit listrik ini dapat dilengkapi unit pengering untuk meningkatkan nilai kalori dan mengurangi kandungan air.