SAAT ini istilah ustaz seperti sudah menjadi tren di kalangan generasi milenial. Ustaz yakni seseorang yang mengajarkan ilmu agama untuk sebutan laki-laki. Ustazah sebutan untuk perempuan. Panggilan tersebut tidak hanya terkait kompetensi ilmu agama, tapi merambah bidang lain.
Di sekolahan formal seperti yang dialami anak saya, memanggilnya dengan ustaz atau ustazah. Padahal zaman saya dulu, memanggil mereka dengan sebutan pak atau bu. Meski ia guru agama, ya tetap dipanggil pak atau bu.
Sedang mengalami pergeseran atau sandiwara kehidupan. Soalnya ustaz/ustazah bisa muncul dimanapun, tidak hanya di sekolah atau madrasah. Jangan kaget jika sekarang, di televisi atau media sosial bermunculan ustaz-ustaz. Apalagi jika kamu membuat tulisan atau bikin status yang sangat agamis, bisa-bisa kamu dipanggil ustaz.
Bisa saja ustaz muncul dari tampilannya. Ada orang memakai jubah ataupun udeng dan sorban tiba-tiba dipanggil ustaz. Lantas jangan berpura-pura memberikan petuah dan tausiah melalui lagu rohani maupun pelatihan motivasi islami biar nanti dipanggil ustaz.
Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ustaz atau ustazah yakni guru agama atau guru besar. Jadi pada dasarnya ustaz adalah seseorang yang mengajarkan ilmu agama. Lantas apakah di sekolah formal, guru yang mengajarkan ilmu agama dipanggil dengan ustaz. Oh…tidak, cukup pak guru dan bu guru saja ya.
Karena saya orang kampung. udik pula, yang mengajarkan ilmu agama ya kiai. Jadi bukan dipanggil ustaz. Waktu obrolan dengan seorang sahabat, munculnya istilah kiai sangat sederhana. Kiai berasal dari dua kata yakni “ki” mempunyai dua pengertian yakni berarti orang yang dituakan atau berarti ini (menunjuk seseorang) dan “ai” yang berarti saja. Jadi kiai muncul karena menunjuk seseorang. Terutama menunjuk seseorang yang dituakan.
Saya pernah bikin status Facebook menggunakan lakon Kiai Cungkring. Lantas efek dari status tersebut saya acap kali dipanggil dengan nama peramban Kiai Cungkring. Begitu mudahnya jadi kiai kan. Apalagi sekadar sebutan ustaz.
Pergeseran budaya
KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus mengatakan istilah kiai saat ini mengalami pergeseran. Istilah kiai sudah salah kaprah karena sebenarnya kiai adalah istilah khas budaya Jawa, memiliki makna orang terhormat di tengah masyarakat. Selain terhormat ia adalah sosok yang mampu melihat umat dengan mata kasih sayang.
Pernyataan Gus Mus menanggapi segelintir kiai dengan pakaian seperti layaknya Rasulullah tetapi sikap dan perilakunya justru bertolak belakang dengan rasa kasih sayang terhadap orang lain.
Sebagai istilah khas Jawa, kiai tidak hanya menyangkut orang, tetapi juga benda yang dianggap terhormat seperti Kiai Nogososro, sebutan untuk sebuah keris, Kiai Plered sebutan tombak, dan Kiai Slamet, seekor kerbau yang dikeramatkan.
Gelar Kiai bukan berasal dari capaian pribadi, seolah-olah sok agamis dan religius. Melainkan anugerah kepada seseorang karena keahlian di bidang agama, integritas moral dan komitmen menjaga nilai-nilai kenabian.
Di masyarakat sebutan kiai juga merujuk istilah ulama yang berarti pewaris para nabi. Timbul pula anggapan bahwa segala ajaran, ucapan, dan tidakkan kiai patut diteladani. Sehingga kiai menjelma menjadi pemimpin kharismatik yang dihormati.
Kiai juga merujuk pemilik atau pengasuh pondok pesantren. Pesantren membutuhkan figur bernama kiai. Sehingga posisi kiai sangat menonjol dan begitu juga dengan relasi sosial antara kiai dan santri. Muncul pula bahwa kiai tidak hanya memiliki kemampuan yang rasional namun juga memiliki nalar irrasional atau yang tidak kasat mata. Sehingga kiai di pesantren memiliki kekuatan dan menjadi sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan.