Pendapatan Negara tahun 2020 tadinya ditargetkan sebesar Rp2.233,20 triliun dalam APBN. Akibat Pandemi, target diturunkan drastis menjadi Rp1.760,88 triliun dalam Perpres nomer 54, dan direvisi lagi menjadi Rp1.699,95 triliun dalam Perpres nomer 72.
Penerimaan terbesar selain pendapatan adalah penerimaan utang secara neto. Neto artinya utang baru yang diperoleh setelah dikurangi pembayaran utang lama. APBN menyebutnya “Pembiayaan utang”, yang dicatat dalam bagan Pembiayaan Anggaran. Penerimaan ini menimbulkan kewajiban di kemudian hari, yaitu membayar atau melunasinya.

Pembiayaan utang tahun 2020 direncanakan oleh APBN sebesar Rp351,85 triliun. Melonjak menjadi Rp1.006,40 triliun dalam Perpres nomer 54. Bertambah lagi menjadi Rp1.220,46 triliun dalam Perpres nomer 72. Besaran ini merupakan rencana tambahan utang secara neto melalui pengelolaan APBN.
Pembiayaan utang itu telah memperhitungkan upaya lain untuk meningkatkan penerimaan melalui pos pembiayaan lainnya. Yang terbesar adalah memakai “simpanan” dalam rekening negara sebesar Rp70,64 triliun. Diambil dari simpanan yang disebut Sisa Lebih Anggaran (SAL), yang merupakan akumulasi sisa lebih pembiayaan anggaran dari tahun ke tahun.
SAL tidak selalu dipakai pada tiap tahun anggaran. Harus ditetapkan dalam APBN, artinya dengan persetujuan DPR. Pemakaian dalam kondisi normal biasanya hanya di kisaran 15 sampai dengan 25 triliun.
Kembali pada topik utama, cukup jelas bahwa tambahan utang yang direncanakan APBN (Perpres 72) bukan sebesar defisit (Rp1.039,22 triliun). Melainkan sebesar pembiayaan utang yang mencapai Rp1.220,46 triliun.
Apakah posisi utang (outstanding) pada akhir tahun 2020 akan bertambah sebesar itu dibandingkan posisi akhir tahun 2019? Tidak demikian juga. Ada faktor lain, yaitu penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi tersebut dinyatakan.
Sebagaimana umum diketahui, sebagian utang Pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya mencapai 38% (Rp1.809,62 triliun) dari total utang (Rp4.779,28 triliun) pada akhir 2019. Sekitar 90 persennya adalah dalam dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.
Meski tidak semua utang berupa dolar, sebagai penyederhanaan karena dominasinya, kita dapat memperkirakan pengaruh faktor ini berdasar kursnya. Kurs rupiah yang dipakai saat mencatat posisi utang pada akhir Desember 2019 adalah Rp13,901 per dolar. Sementara ini, Bank Indonesia menargetkan kurs akhir tahun 2020 di kisaran Rp15.000.
Prakiraan secara teknis faktor ini hanya berpengaruh atas nilai utang terdahulu. Utang yang diperoleh tahun 2020 telah otomatis terhitung. Jika kurs akhir tahun 2020 sebesar Rp15.000, maka rupiah melemah 7,91%. Utang pun bertambah karena faktor ini sebesar Rp195,27 triliun.