Scroll untuk baca artikel
Kolom

Wajib Belajar vs Wajib Sekolah

Adib Achmadi
×

Wajib Belajar vs Wajib Sekolah

Sebarkan artikel ini
Wajib Belajar wajib sekolah
Ilustrasi/Barisan.co

Ini adalah diantara konsekuensi dari penyamaan atau pengidentikan belajar dengan sekolah. Konsekuensi berikutnya adalah intervensi pemerintah dalam program wajib belajar cenderung terbatas pada lingkup sekolah. Bantuan dan dukungan mengalir ke sokolah.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang sudah tidak bersekolah? Bagaimana pula dengan warga yang kesehariannya hidup di masyarakat, termasuk dalam kehidupan keluarga, tempat generasi bangsa ini dibentuk sejak awal? Apakah mereka tidak lagi ada kewajiban belakar?

Di luar kehidupan sekolah, denyut nadi belajar seakan berhenti. Banyak pihak kemudian menyerahkan kewajiban belajar sepenuhnya kepada sekolah.

Para orang tua sesegera mungkin menyekolahkan anaknya sejak dini, seolah rumah (keluarga) bukan lagi tempat belajar bagi anak.

Sementara itu, kehidupan semakin kompleks. Perubahan terjadi dengan cepat dan memengaruhi tatanan sosial. Tatanan lama mulai goyah, dan tatanan baru menuntut adaptasi untuk bisa berjalan selaras.

Dalam kondisi ini, apa yang terjadi ketika proses belajar berhenti? Bekal apa yang dimiliki masyarakat umum untuk menjalani kehidupan dengan tenang dan bahagia?

Kondisi ini sesungguhnya adalah masalah besar yang harus diatasi. Masalah sosial akan bermunculan akibat kurangnya asupan pengetahuan di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat pada umumnya harus hidup dalam suasana belajar, apa pun situasinya.

Negara harus turut campur dalam hal ini. Misi mencerdaskan kehidupan bangsa tidak boleh dipersempit hanya pada ruang dan masa sekolah.

Perlu ada kampanye dan fasilitasi dari negara agar masyarakat terus belajar. Intervensi negara bahkan perlu sampai ke tingkat keluarga karena di sanalah terletak nasib kualitas generasi bangsa di masa mendatang.

Tentu, tugas mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya bertumpu pada negara. Inisiatif masyarakat untuk menumbuhkan semangat belajar sangat dibutuhkan. Ruang-ruang belajar di masyarakat perlu ditumbuhkan.

Sejalan dengan pandangan ini, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, percaya bahwa pendidikan tidak terbatas pada sekolah formal, tetapi berlangsung seumur hidup melalui pengalaman dan interaksi sosial.

Menurutnya, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru,” menegaskan bahwa belajar bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Pandangan Ki Hajar ini perlu diterjemahkan secara lebih konkret dan kreatif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Intinya, iklim belajar harus tumbuh di masyarakat. Keterpelajaran harus diraih, tidak hanya oleh kalangan sekolahan, tetapi juga oleh masyarakat luas. Dari sinilah, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi relevan dan nyata. []