Scroll untuk baca artikel
Kolom

Wajib Belajar vs Wajib Sekolah

Adib Achmadi
×

Wajib Belajar vs Wajib Sekolah

Sebarkan artikel ini
Wajib Belajar wajib sekolah
Ilustrasi/Barisan.co

Belajar adalah kewajiban sepanjang hayat yang tidak boleh dibatasi oleh sekolah, ruang kelas, atau jenjang pendidikan formal karena dalam kehidupan yang terus berubah, berhenti belajar berarti tertinggal.

Oleh: Adib Achmadi
(Pemerhati Pendidikan)

WAJIB belajar adalah konsep yang sudah tepat. Belajar adalah nutrisi ruhani yang wajib dipenuhi sebagaimana tubuh butuh gizi agar tetap sehat. Selain itu, manusia harus terus belajar karena hidup selalu dihadapkan pada tantangan, masalah, dan berbagai kejadian baru yang menuntut pengetahuan dan cara-cara baru.

Menurut Imam Al-Ghazali, belajar tidak berhenti pada usia tertentu, melainkan berlanjut sepanjang manusia masih hidup.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh John Dewey, seorang pakar pendidikan terkemuka, yang menyatakan bahwa belajar adalah proses seumur hidup yang terjadi melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.

Dalam ajaran agama Islam, belajar atau menuntut ilmu adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi menyatakan, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.”

Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Ketika belajar dan menuntut ilmu menjadi semangat hidup, tidak ada alasan bagi seseorang untuk bodoh. Seperti dikatakan oleh Gus Mus (Mustofa Bisri), “Orang menjadi pintar karena ia belajar. Kebodohan terjadi karena ia berhenti belajar.”

Sekolah formal adalah salah satu cara belajar. Melalui sekolah, manusia mendapatkan keterampilan berpikir dan pengetahuan secara sistematis. Dengan pengetahuan yang dimiliki, diharapkan manusia memiliki wawasan yang luas dan keterampilan yang berguna untuk kehidupannya.

Sisi lain, belajar tidak selalu harus melalui sekolah formal. Apalagi, menyamakan belajar dengan sekolah adalah hal yang keliru. Belajar harus tetap terjadi, meskipun seseorang tidak bersekolah atau telah menyelesaikan pendidikannya.

Dengan pandangan ini, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dari kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar. Seperti diketahui, pemerintah pernah menggaungkan program wajib belajar sembilan tahun (merujuk pada UU No. 2/1989) dan wajib belajar 12 tahun (merujuk pada RPJMN 2015-2019). Kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya baik agar setiap warga Indonesia mengenyam pendidikan formal.

Namun, di balik konsep wajib sekolah tersebut, dalam praktiknya, belajar sering kali diidentikkan dengan masa sekolah. Belajar menjadi terbatas oleh waktu dan usia.

Belajar dianggap hanya terjadi ketika seseorang bersekolah. Setelah selesai sekolah, selesai pula proses belajar. Orang yang tidak bersekolah dianggap tidak memiliki kewajiban untuk belajar.

Banyak siswa merayakan kegembiraan usai menamatkan sekolah. Mereka merasa terbebas dari beban belajar. Bahkan, banyak sarjana, bahkan akademisi, enggan untuk belajar dan memperbarui ilmunya setelah menyelesaikan studi.

Ini adalah diantara konsekuensi dari penyamaan atau pengidentikan belajar dengan sekolah. Konsekuensi berikutnya adalah intervensi pemerintah dalam program wajib belajar cenderung terbatas pada lingkup sekolah. Bantuan dan dukungan mengalir ke sokolah.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang sudah tidak bersekolah? Bagaimana pula dengan warga yang kesehariannya hidup di masyarakat, termasuk dalam kehidupan keluarga, tempat generasi bangsa ini dibentuk sejak awal? Apakah mereka tidak lagi ada kewajiban belakar?

Di luar kehidupan sekolah, denyut nadi belajar seakan berhenti. Banyak pihak kemudian menyerahkan kewajiban belajar sepenuhnya kepada sekolah.

Para orang tua sesegera mungkin menyekolahkan anaknya sejak dini, seolah rumah (keluarga) bukan lagi tempat belajar bagi anak.

Sementara itu, kehidupan semakin kompleks. Perubahan terjadi dengan cepat dan memengaruhi tatanan sosial. Tatanan lama mulai goyah, dan tatanan baru menuntut adaptasi untuk bisa berjalan selaras.