Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Waktu Senggang

Redaksi
×

Waktu Senggang

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Memang, saya pernah atau bisa menembus  kampus Universitas Diponegoro, Fakultas Sastra, tahun 1997. Tapi seorang Roem Topatimasang, satu dari sekian tokoh, yang lumayan kuat memantapkan saya untuk drop out, pertengahan 1999.

Topatimasang, dalam Sekolah itu Candu terbit 1998, mengenalkan istilah skhole, scola, scolae, yang menjadi asal mula kata “sekolah” yang berarti “waktu senggang”. Sehingga, semenjak menghayati “waktu senggang” itu, saya masuk daftar mahasiswa yang tidak bersemangat kuliah, dan akhirnya memutuskan drop out.

Bukan karena salah masuk fakultas, salah memilih jurusan, sehingga salah investasi untuk memperoleh upah material yang besar di kemudian hari. Bukan, sama sekali bukan alasan itu, melainkan terkait makna sekolah, makna “waktu senggang”.

Tahun 1999, saya bertemu dan akhirnya menakzimi sebagai guru spiritual, Muhammad Zuhri. Dia terkenal sebagai penyembuh AIDS dan segala jenis penyakit akut lain dengan metode sufi healing. Dia melayani setiap pasien yang datang dari mana pun, yang datang dengan segala problemnya.

Namun, ada satu hari yang menurutnya pantang, yaitu hari Sabtu. Menurutnya hari itu adalah hari beristirahat, yang jauh di kemudian hari baru saya ketahui sebagai hari Sabat. Tradisi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia, waktu senggang.

Itulah soalnya. Sekolah sejatinya sebagai waktu senggang. Dan waktu senggang di sini adalah waktu mengkuduskan Tuhan. Waktu kita, manusia, untuk menelisik kesejatian diri. Menyapa sang aku, manusia, selaku masterpiece ciptaan Tuhan. Namun, yang terjadi sebaliknya.

Saya kuliah bukan sebagai waktu senggang. Bukan, apalagi, untuk mengetuk pintu Tuhan, mengenal sang aku. Saya kuliah diarahkan dan disiapkan untuk bisa membuka lapangan kerja. Atau paling tidak laku sebagai karyawan di sebuah instansi. Saya kuliah tidak lain tidak bukan agar menjadi orang kaya raya. Belajar disamakan dengan investasi material.

Padahal, substansi belajar itu adalah sepanjang hayat. Namun, Pendidikan sekolah, termasuk perguruan tinggi, justru melenyapkan substansi itu. Bahwa akhirnya, belajar sama dengan pengajaran. Ijazah sama dengan pendidikan.

Dan, kemampuan keterampilan berdasar penitian karir dari sekolah dasar hingga puncak sekolah tinggi. Terlebih lagi, yang teramat menyesatkan dari sekolah, ia berhasil mengelompokkan pembelajar berdasar umur, karena kebijakan wajib belajar.

Kembali ke soal senggang. Sekolah dari semula sebagai waktu senggang, walau kini terbalik, sekolah sebagai tugas. Itulah kenapa, saat itu justru saya menyaksikan siswa dan mahasiswa bermuram durja. Mereka tidak sedang menikmati waktu senggang, tapi menjalani kewajiban. Harus ini harus itu.

Sekolah bukan lagi upaya meningkatkan kualitas diri, bukan untuk paham banyak hal. Tidak anehlah jika mayoritas mahasiswa di negeri ini tidak dikenal sebagai pembaca buku, memiliki gairah keilmuan yang besar, atau sering mengunjungi perpustakaan.

Banyak dari mereka bahkan bisa lulus menjadi sarjana tanpa pernah menamatkan satu buku keilmuan yang menjadi pilihan kuliahnya, dan skripsi yang asal jadi. Bukan hanya itu, di berbagai kompleks perumahan yang banyak menjadi tempat kost mahasiswa, biasanya menjamur tempat persewaan play station, atau warnet yang menyediakan game online.

Para mahasiswa sering sekali tampak bersaing dengan anak-anak memenuhi tempat tersebut. Sepertinya berlebihan apabila belajar seharian di bangku kuliah telah membuat mereka sumpek dan stress.

Walau hari-hari ini berbeda. Tidak lagi game online atau play station di tempat persewaan, tapi di genggaman seluler. Namun, toh prinsipnya sama mengisi kekosongan waktu. Seolah di luar itu sibuk, lagi tidak senggang. “Wajar kan, buat melepas penat dan stress setelah garap PR sekolah!”