BARISAN.CO – Wangi parfum yang samar barangkali menjadi pengantar pada kegembiraan atau kesedihan, kenikmatan atau rasa sakit, melalui keterhubungan dengan pengalaman masa lampau. Dan tanggapan kita tentang itupun akan banyak bervariasi.
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Upaya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sebetulnya sudah lama. Sekurang-kurangnya Hermann Ebbinghaus, sejak 1850-an, telah memulai penelitian sistematis tentang kasus ini.
Menariknya, memasuki awal abad ke-20, penjelasan fenomena ini justru banyak datang bukan dari diskursus akademik, melainkan di luar itu. Salah satunya dari novel-novel Marcel Proust.
Marcel Proust adalah penulis kebangsaan Perancis, tidak punya latar belakang akademisi, tapi sering membicarakan hubungan antara wewangian dengan ingatan-ingatan masa lampau dalam karyanya.
Karya Proust yang terbit antara 1913 dan 1927 sering meromantisasi indera penciuman dengan deskripsi yang nyaris lengkap.
Proust misalnya pernah menulis: “Ketika masa lampau berlalu, setelah orang-orang mati, setelah barang-barang pecah dan tersebar, hanya tersisa rasa dan bau saja: lebih rapuh tetapi lebih tahan lama, tak tampak, lebih gigih, lebih setia, tertinggal untuk waktu lama seperti jiwa yang mengingat, menunggu, terus berharap, di saat yang lainnya telah musnah; dan bertahan seteguh karang, dalam intisari yang kecil dan hampir tak bisa dipahami permenungan yang luas.”
Lantaran itulah, banyak kalangan peneliti kemudian menahbiskan Proust sebagai legitimasi akademis, dan mulai menyebut eponim ‘fenomena Proust’ untuk merujuk soal wewangian dan kenangan ini.
Dalam penjelasan neuroanatomi, melansir majalah Vogue, fenomena Proust terjadi ketika molekul bau melewati saluran hidung, di mana terdapat jutaan sensor penciuman yang disebut silia. Molekul mengikat neuron di bagian atas saluran hidung, dan kemudian mengirim pesan ke sistem limbik—pusat emosi, dan tempat ingatan terbentuk.
Fenomena Proust memang banyak dibicarakan atas kemampuannya secara insidentil membangkitkan ingatan tersembunyi. Beberapa literatur menyebut, hal ini terjadi karena ingatan penciuman cenderung datang lebih awal dalam kehidupan daripada ingatan lewat indera lain.
Seiring manusia tumbuh, dan seiring kumpulan ingatan tersimpan satu demi satu, bau mulai menjadi variabel mediasi yang terasosiasi dengan kumpulan ingatan tersebut.
Melansir medicalxpress, beberapa peneliti Universitas Utrecht di Belanda (Marcel van den Hout, Monique Smeets, dan Marieke Toffolo) menemukan bahwa, ketika orang melihat sebuah peristiwa penting, ingatannya akan lebih hidup jika di sekitar peristiwa tersebut terdapat bau yang dapat diasosiasikan.
Deskripsi tersebut merupakan hasil dari sebuah riset yang melibatkan 70 perempuan sebagai relawan penelitian. Metodenya, relawan disuruh menonton video singkat yang mengganggu nurani dan sulit dilupakan, misalnya video kecelakaan atau berita-berita Genosida di Rwanda.
Saat video diputar, tim peneliti menyeprotkan parfum cassis ke dalam ruangan untuk memberikan bau spesifik, menyalakan lampu dinding warna-warni, dan memutar musik lembut sebagai latar belakang.
Seminggu kemudian, tim peneliti mendatangi para relawan, mengekspose bau parfum cassis, lampu, dan musik kepada mereka secara bergantian. Para peneliti menemukan bahwa ketika mencium bau cassis dan melihat lampu warna-warni yang sama seperti saat menonton video seminggu lalu, para relawan mampu menggambarkan ingatan tentang hal-hal yang mereka saksikan di video jauh lebih jelas.
Peneliti juga menemukan bahwa musik tidak banyak merangsang ingatan relawan saat mereka menjawab pertanyaan.
Untuk sementara, tim peneliti menyebut eksperimen sederhana ini tampaknya mendukung tesis bahwa benar ada hubungan kuat antara ingatan dengan bau dan cahaya, meskipun masih diperlukan penelitian lebih lanjut. []
Diskusi tentang post ini