ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) menurut waktu asal kini memiliki porsi sekitar 21,16%. Namun dilihat dari jangka waktu sisa pelunasan, telah mencapai 24,16%. Hampir seperempat dari ULN swasta mesti dilunasi kurang dari setahun ke depan, terhitung dari akhir Oktober 2020.
Porsi ini memang cenderung stabil selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, cenderung sedikit turun pada tahun 2018-2020. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu cukup memberatkan dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Salah satunya berupa volatilitas kurs rupiah yang cukup tinggi, dengan kemungkinan pelemahan yang cukup besar. Sementara itu, sebagian cukup besar dari pihak swasta yang memiliki ULN tersebut memiliki pendapatan berupa rupiah.
Salah satu kondisi ULN swasta yang perlu diwaspadai risikonya oleh otoritas adalah ULN BUMN yang telah mencapai US$58,91 miliar. Pertumbuhannya terbilang sangat cepat selama 3 tahun terakhir, jauh melampaui laju ULN swasta yang nonBUMN.
Porsi ULN BUMN dalam keseluruhan ULN swasta cenderung meningkat. Dari hanya 6,51% pada akhir tahun 2007 menjadi 18,77% pada akhir 2014. Peningkatan porsi masih cenderung berlangsung pada tahun-tahun berikutnya, hingga mencapai 27,95% pada Oktober 2020.
Dari statistik ULN (SULNI) yang dipublikasi oleh Bank Indonesia tiap bulan, ULN BUMN dapat dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok BUMN Bank mencatat ULN sebesar US$8,92 miliar. BUMN Lembaga Keuangan yang bukan bank sebesar US$3,97 miliar. BUMN yang bukan Lembaga keuangan sebesar US$46,02 miliar.
Porsi kelompok BUMN yang bukan Lembaga keuangan telah mencapai 78,11% dari total ULN BUMN. Selama tiga tahun terakhir, pertumbuhannya memang lebih cepat sehingga porsinya pun meningkat. Termasuk dalam kelompok ini adalah yang bisnis utamanya di bidang infrastruktur dan bidang energi.
Peningkatan ULN BUMN tak dapat dilepaskan dari penugasannya untuk mendukung pembangunan sektor prioritas, seperti infrastruktur. Pemerintah dan pihak BUMN terkait sering menjelaskan bahwa kenaikan utangnya diikuti kenaikan aset, kinerja, dan nilai perusahaan. Namun, data-data secara umum kurang memperlihatkan peningkatan yang sebanding. Padahal, risikonya cenderung meningkat pada kondisi perekonomian yang memburuk seperti saat ini.
Masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu kelompok industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. Jika terjadi kasus kegagalan membayar kewajiban ULN oleh satu atau beberapa BUMN maka dapat terpicu soalan ekonomi yang lebih kompleks.
Pihak BUMN yang memiliki ULN cukup banyak mesti ekstra hati-hati mengelola keuangannya pada tahun 2021. Pemerintah dan DPR harus lebih waspada dan mengetahui sejak dini jika terdapat gejala yang mengkhawatirkan.
*Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri