Scroll untuk baca artikel
Blog

[Wawancara] Sosiolog Yusdi Usman: Kembalikan Fungsi Kontrol Lembaga Legislatif

Redaksi
×

[Wawancara] Sosiolog Yusdi Usman: Kembalikan Fungsi Kontrol Lembaga Legislatif

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Gerakan protes sosial di Indonesia yang marak akhir-akhir ini seperti protes terhadap disahkannya UU Cipta Kerja/Omnibus Law, menjadi bahasan menarik dalam kajian sosial politik Indonesia mutakhir.

Hal itu terjadi karena adanya ketidaksesesuaian harapan publik terhadap kebijakan yang dikeluarkan pengelola negara ditambah kebuntuan saluran-saluran aspirasi rakyat dalam mekanisme keterwakilan publik melalui parlemen/DPR.

Yusdi Usman, Pengamat perubahan sosial dan Kandidat Doktor Sosiologi UI, mengupas panjang lebar perihal gerakan protes sosial di Indonesia dan masa depan politik rakyat terkait fakta melemahnya peran parlemen ketika berhadapan dengan eksekutif, dan peluang-peluang perubahan yang ada.


Red: Benarkah gerakan protes sosial di Indonesia tidak akan pernah menemukan titik temu bagi penyelesaian masalah melalui mekanisme kelembagaan di parlemen karena melemahnya peran legislatif?

YU: Gerakan sosial (social movement) dalam berbagai bentuk adalah fenomena sosial politik yang terjadi di manapun, yang bertujuan mendorong perubahan sosial, politik dan ekonomi yang dianggap masih belum sesuai dengan harapan dan cita-cita bersama.

Di negara-negara demokrasi, gerakan sosial biasanya berproses mengikuti prinsip-prinsip demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dan berserikat/berorganisasi dibolehkan dan negara harus melindunginya.

Sementara di negara-negara otoriter, gerakan sosial biasanya dilarang sehingga mereka bermetamofosis menjadi gerakan bawah tanah.

Gerakan sosial merupakan sebuah gerakan jangka panjang untuk mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Karena itu, gerakan sosial ini tidak tergantung pada kondisi lembaga-lembaga demokrasi seperti DPR dan partai politik.

Memang ada korelasi positif antara lemahnya lembaga perwakilan dengan gerakan sosial, di mana saat keterwakilan suara publik tidak bisa diperjuangkan oleh DPR, maka gerakan sosial akan semakin menguat.

Namun, dalam konteks yang lebih luas, gerakan sosial ini tidak tergantung pada kinerja lembaga legislatif, melainkan pada kondisi perubahan secara keseluruhan.

Dalam kondisi sistem politik dikuasai oleh segelintir elit oligarki, maka semua lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), bahkan partai politik tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik dalam mewujudkan cita-cita konstitusional: Keadilan dan Kesejahteraan bagi Seluruh Rakyat.

Lembaga-lembaga ini terjebak dalam kepentingan elit oligarki untuk mengamankan kepentingan ekonomi politik mereka. Kekuatan uang membuat elit-elit ini bisa berkuasa dengan leluasa. Mengkooptasi proses pembuatan aturan perundang-undangan untuk kepentingan mereka.

Juga, memperkuat institusionalisasi sistem politik yang membuat rotasi elit hanya di sekitar mereka saja. Lalu, rakyat hanya menjadi penonton.

Nah, dalam kondisi ini, gerakan sosial lahir sebagai bentuk kritik atas keresahan sosial masyarakat dan kondisi ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, baik sebagian maupun keseluruhan.

Apakah dalam kondisi lembaga perwakilan (DPR) kuat dan tidak terkooptasi oleh eksekutif, maka gerakan sosial melemah? Tidak juga. Seperti saya sebutkan di atas, gerakan sosial merupakan gerakan esoteris, jangka panjang, yang akan selalu lahir sebagai bentuk koreksi kepada kekuasaan.

Sementara DPR sendiri, dalam kondisi bagus sekalipun, harus berkompromi dengan berbagai kepentingan elite di sekitar mereka.

Red: Lembaga perwakilan publik di Indonesia sepertinya tidak akan bisa independen dan aspiratif karena faktanya, proses politik dalam pemilihan anggota parlemen saja masih tidak memungkinkan bagi mereka yang tidak memiliki cukup backup finansial untuk lolos, padahal potensial dan bebas kepentingan pemodal?