Scroll untuk baca artikel
Blog

[Wawancara] Sosiolog Yusdi Usman: Kembalikan Fungsi Kontrol Lembaga Legislatif

Redaksi
×

[Wawancara] Sosiolog Yusdi Usman: Kembalikan Fungsi Kontrol Lembaga Legislatif

Sebarkan artikel ini

YU: Lembaga legislatif di negeri ini akan selamanya tersandera jika aturan perundang-undangan yang mengatur partai politik tidak diubah. Sistem elektoral kita terlalu mahal dan hanya menguntungkan mereka yang mempunyai kekuatan finansial besar.

Dalam kondisi ini, jangan harap akan lahir politisi-politisi kharismatik, kuat basis intelektual dan keilmuannya, serta punya visi bagus untuk memperbaiki masyarakat.

Politik elektoral yang mahal hanya akan melahirkan politisi-politisi berbasis pengusaha, kontraktor, preman, atau komprador oligarki, yang tentu saja akan memperjuangkan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat.

Dalam situasi ini, tidak akan lahir orang-orang hebat seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan sebagainya. Selain memunculkan preman-preman politik yang bergentayangan mencari rente untuk memperkaya kelompoknya dan mengamankan investasi oligarki.

Karena itu, ada beberapa hal yang harus diubah jika kita ingin memperbaiki sistem politik kita.

Pertama, parpol harus ditransformasikan menjadi partai politik publik, bukan parpol milik oligarki. Supaya menjadi parpol publik, maka pendanaan partai politik harus bersumber dari APBN dan dikelola secara akuntabel.

Parpol tidak boleh menjadi alat mencari rente seperti yang selama ini dilakukan, sehingga terjebak dalam berbagai prilaku korupsi dan melakukan bancakan uang APBN/APBD.

Parpol harus benar-benar menjadi lembaga demokrasi sebagai kawah candradimuka untuk melahirkan politisi-politisi berkualitas dan memastikan terjadinya rotasi elit berbasis meritokrasi.

Kedua, penguatan institusionalisasi sistem elektoral, di mana sistem elektoral harus benar-benar bebas politik uang dalam berbagai bentuk. Kontestan dalam politik elektoral harus dilarang mengeluarkan uang sepeser pun dan dalam bentuk apapun.

Kondisi ini akan menciptakan situasi yang tidak memungkinkan lahirnya politisi-politisi karbitan di satu sisi, dan semua calon pemimpin publik yang berkontestasi dalam politik elektoral harus membangun basis politik berbasis meritokrasi.

Jika kondisi ini diubah, para pemodal dan elit-elit oligarki yang saat ini menguasai partai politik tidak akan bisa melakukan intervensi dalam bentuk apapun, karena partai politik dibiayai oleh negara (APBN) dan proses politik berbasis meritokrasi.

Red: Protes sosial terhadap UU Omnibus Law masih berlangsung tapi cenderung melemah. Apakah akan berujung seperti protes UU KPK dan lain-lain pada tahun lalu, di mana akhirnya eksekutif berhasil terus saja melenggang tanpa menghiraukan protes yang ada?

YU: Saya melihat kritik sosial terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law akan bernasib sama dengan protes terhadap UU KPK tahun lalu. Hal ini terjadi karena gerakan sosial/gerakan buruh belum terintegrasi dengan rakyat. Gerakan sosial dalam isu UU Cipta Kerja dan UU KPK masih terkesan elitis dan belum mampu menggerakkan kesadaran yang sama untuk mendorong perubahan ini.

Ada dua kondisi yang bisa membuat sebuah gerakan sosial mampu mendorong perubahan secara signifikan.

Pertama, adanya kepemimpinan kharismatik dalam gerakan sosial. Kepemimpinan kharismatik ini bisa bersifat individual bisa juga bersifat kolektif.

Gerakan sosial terkait UU Cipta Kerja dan UU KPK tidak didukung oleh kepemimpinan kharismatik yang kuat sehingga gerakan ini mudah dilemahkan oleh negara dengan berbagai cara.

Namun, dalam konteks tertentu, tidak dibutuhkan kepemimpinan kharismatik ini, tatkala konsolidasi gerakan sosial sudah bisa dilakukan dengan sangat cepat melalui media sosial dan sebagainya.

Kedua, gerakan protes UU Cipta Kerja dan UU KPK tidak terkonsolidasi dengan bagus dan hanya reaksi sesaat.