Scroll untuk baca artikel
Blog

Wayang Kulit Budaya Islam: Terbunuhnya Politik Kebudayaan

Redaksi
×

Wayang Kulit Budaya Islam: Terbunuhnya Politik Kebudayaan

Sebarkan artikel ini

Wayang Kulit Budaya Islam
Sejak Mataram Islam, Kemerdekaan, Indonesia adalah negara (mayoritas) Islam berdasar Pancasila. 
Semar: ojo dumeh…

SULUK

Jarang orang tahu, wayang kulit adalah budaya Islam. Di negeri asal Mahabharata, yang ada ya karya sastranya itu. Di Jawa wayang kulit digunakan Sunan Kalijaga untuk penyebaran agama Islam. Konon pergelarannya, tiketnya: kalimah Syahadat. Lakonnya yang terkenal “Jimat Kalimusadha”, pewedaran tentang Kalimah Syahadat.

Alsurah di jaman Mataram Lama (85-107 sSM), Dharmawangsa menemukan kitab Mahabharata. Seorang raja besar yang sayangnya hanya memerintah sebentar. Pada masa itu perang saudara terus berlangsung. Perang antara raja dan kerajaan Jayabaya dengan raja dan kerajaan Jayasabha.

Kisah perang saudara ini diriwayatkan dalam kitab Bramarajawawilasita. Kitab Jawa inilah sebenarnya yang menjadi dasar (struktural) kisah wayang dalam wayang kulit.

Kalau masuk ke perpustakaan, karena muak terhadap perang moyangnya. Dharmawangsa menemukan kemiripan antara kitab Bramarajawawilasita dengan Mahabharata.

Dharmawangsa kemudian minta kepada dua empu untuk menyadur Mahabharata dalam strukturalisasi Bramarajawawilasita, dari bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno. Maka dari Empu Sedah lahirlah kakawin Bharatayudha, dan dari Empu Kanwa lahir kakawin Arjuna Wiwaha.

Kemudian Dharmawangsa minta kepada juru tembang dan juru lakon untuk menyebarkan dua kitab ini ke desa-desa. Sehingga dengan penyebaran itu, desa mulai mengenal kehidupan baru. Misalnya, cita-cita mulia yang dikejar Arjuna, ialah: kepanditaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah.

Empat nilai perjuangan inilah yang dikemudian hari, oleh Kalijaga distrukturalisasikan sebagai umaroh, ghoiroh, fitroh, baqoh. Dalam wayangnya disebut: semar, gareng, petruk, bagong. Atau disebut ponokawan: pono=mengerti, kawan=friend, yang penokohan ini pun hanya ada di wayang Indonesia.

JEJER

Masuk jaman Majapahit, bangsa ini sudah mengenal kehidupan baru itu. Raja-raja Majapahit hingga Gajahmada terinspirasi nilai+intitusi budaya ini. Hingga bangsa ini menjadi bangsa besar. Bangsa bahari dengan cita-cita mulia: menyatukan nusantara. Itu yang tampak dalam sumpah palapa, sumpah budaya itu.

Sehingga watak bahari bangsa kita terbentuk secara kebudayaan. Meski para bahariwan berlayar sampai ke negara luar, moyang kita tidak punya niatan menjajah. Niat yang ada ya niat budaya, persaudaraan melalui niaga atau hubungan antar manusianya. Baik secara kebudayaan atau melalui agama dalam kitab masing-masing.

Kebesaran bangsa ini disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa luar. Termasuk negeri China, yang bahkan mempersembahkan putri-putri Campa. Putri-putri dari daerah Campa, yang terkenal cantik jelita, sebagai cara menghormati bagi raja-raja Jawa. Jadi, putri Campa bukan nama seorang gadis, tapi banyak putri sebagai ‘kekayaan’ daerah Campa.

Sampai masuk jaman Mataram Islam, budaya ini terus mengalami proses kelanggengan ujian waktu. Dalam lakon “Perahu Retak” Emha Ainun Nadjib mengungkap kegelisahan itu: aku terus bepikir, apakah aku ini orang Jawa atau orang Islam.

Nah, dijawab oleh dialog Kalijaga, bahwa dalam diri setiap manusia ada suara mulia untuk menjawab perang batin itu: manunggalung kawula lan gusti, dalam sesanti rahmatan lil alamin.

TANCEP KAYON

Masuk kemerdekaan, Soekarno sang proklamator terinspirasi budaya moyang itu. Hasil dialog dengan guru wayangnya Ki Nartosabdho dari Ngesti Pandhowo Semarang. Tentang kepanditaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah. Tentang umaroh, ghoiroh, fitroh, baqoh (semar, gareng, petruk, bagong ~ ponokawan itu).